Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebelum dan Sesudah PERMA No. 3 Tahun 2017
![]() |
Yuridis.id |
Perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender. (Perma No. 3 Tahun 2017)
Sebagai negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) Indonesia mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.
Berdasarkan pertimbangan peraturan perundang-undangan yang telah terlebih dahulu ada, maka Mahkamah Agung perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Tentunya menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana perlindungan hukum terhadap perempuan berhadapan dengan hukum sebelum dan sesudah lahirnya Perma No. 3 Tahun 2017?
![]() |
Perempuan menjadi Tersangka/Batamtoday |
Menurut Pasal 1 PERMA No. 3 Tahun 2017, perempuan berhadapan dengan hukum adalah
perempuan yang berkonflik dengan hukum. Ada 3 (tiga) pihak perempuan yang
berkonflik dengan hukum tersebut:
1. Perempuan sebagai korban
2. Perempuan sebagai saksi
3. Perempuan sebagai pihak
Pasal 2 PERMA memuat asas yang mestinya
ditaati hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum.
Asas-asas tersebut adalah, asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
asas non diskriminasi; asas kesetaraan gender; asas persamaan di depan hukum;
asas keadilan; asas kemanfaatan; dan asas kepastian hukum.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Bella Sandiata dalam Jurnal Perempuan yang berjudul Perempuan
Berhadapan dengan Hukum: Refleksi Penggunaan Pasal 284 dan 285 KUHP dalam
Pengalaman Pendamping Hukum.
Pendamping sendiri berarti
seseorang atau kelompok atau organisasi yang dipercaya dan/atau memiliki
keterampilan dan pengetahuan untuk mendampingi perempuan berhadapan dengan
hukum, dengan tujuan membuat perempuan merasa aman dan nyaman dalam memberikan
keterangan selama proses peradilan berlangsung.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih tidak berpihak kepada perempuan korban. Keadilan bagi para perempuan korban masih jauh panggang dari api karena posisi perempuan korban yang masih kerap dilemahkan oleh (aparat penegak) hukum.
Masih saja ada polisi, hakim atau jaksa dalam proses pemeriksaan yang melontarkan pertanyaan tidak etis pada korban perkosaan, misalnya. "Pelaku menggunakan gaya apa pada saat main dengan kamu?" Hal ini amat sangat disayangkan mengingat salah satu fungsi penegak hukum adalah memberikan rasa aman bagi para pencari keadilan.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih tidak berpihak kepada perempuan korban. Keadilan bagi para perempuan korban masih jauh panggang dari api karena posisi perempuan korban yang masih kerap dilemahkan oleh (aparat penegak) hukum.
Masih saja ada polisi, hakim atau jaksa dalam proses pemeriksaan yang melontarkan pertanyaan tidak etis pada korban perkosaan, misalnya. "Pelaku menggunakan gaya apa pada saat main dengan kamu?" Hal ini amat sangat disayangkan mengingat salah satu fungsi penegak hukum adalah memberikan rasa aman bagi para pencari keadilan.
Reformasi sistem hukum
secara tertulis dan hukum acara diperlukan untuk mengakomodasi pengalaman
perempuan korban. Sistem dan produk tersebut harus dapat memastikan suatu
peraturan perundang-undangan, termasuk hukum pidana, yang berperspektif gender
dan berpihak pada perempuan korban. Prinsip-prinsip dalam teori hukum feminis
merupakan suatu solusi untuk menghentikan praktik hukum yang bias gender, salah
satunya adalah dengan berupaya untuk mendengar pengalaman perempuan korban.
Lebih jauh lagi, perubahan
perspektif akibat budaya patriarki yang menyubordinasikan perempuan perlu
dilakukan dalam tiga unsur sistem hukum secara menyeluruh yakni struktur hukum,
substansi hukum, dan budaya hukum. Reformasi hukum ke depan juga perlu melihat
dan melibatkan (pengalaman) perempuan sehingga keadilan bagi perempuan korban
yang berhadapan dengan perkara hukum bukan menjadi hal utopis dan sungguh dapat
memberikan jawaban atas pencarian keadilan oleh para perempuan korban yang
telah berani melaporkan segala bentuk ketidakadilan yang dialaminya. (Sandiata:
2018)
Relevansinya dengan Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan dan penghargaan terhadap saksi atau
korban atau pelapor merupakan suatu prinsip yang telah diatur dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, karena
berkaitan dengan pentingnya keterangan saksi atau korban dalam mengungkapkan
fakta hukum atas tindak pidana korupsi, tindak piudana pencucian uang, tindak
pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain
yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat
membahayakan.
![]() |
Perempuan di sidang pengadilan/Borneonews |
Perlindungan saksi
atau korban atau pelapor penting diberikan karena menyangkut ancaman atau
intimidasi yang diterima oleh saksi atau korban atau pelapor atas keterangan
atau laporan untuk mengungkapkan kejahatan tersebut. Mekanisme Perlindungan
saksi dan korban telah diterapkan melalui sistem pelaporan dan perlindungan
yang ada di Lembaga Perlindungan Saksi atau Korban (LPSK), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Upaya
perlindungan saksi atau korban tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tetapi juga perlu diatur dalam KUHAP, sebagai ketentuan beracara dalam
proses peradilan pidana.
Mekanisme perlindungan
saksi atau korban atau pelapor perlu mempertimbangkan sistem perlindungan yang
terintegrasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penanganan tindak
pidana yang serius seperti korupsi, tindak pidana pencucian, narkotika, HAM
berat dan lainnya. Serta perlu meningkatkan jaminan kerahasiaan saksi atau
korban atau pelapor terhadap tindak pidana serius tersebut. (Wangga: 2013)
![]() |
Perempuan di sidang pengadilan/ Kumparan.com |
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Sesudah Lahirnya Perma No. 3 Tahun 2017
Berdasarkan penelusuran penulis mengenai proses penanganan perkara pada perkara pidana, pada perkara perdata juga ditemukan perbedaan kondisi penegakan hukum pasca lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017. Dalam hal ini mengenai perkara Cerai Talak (CT) dan Cerai Gugat (CG) pada peradilan agama.
Sebelum adanya PERMA, pada CT tidak ada amar yang memerintahkan kepada Pemohon untuk melaksanakan putusan yakni membayar beban sebelum ikrar talak diucapkan. Dalam pertimbangan hukum hakim terdapat adanya perintah pembayaran nafkah iddah dan mut’ah yang dibayarkan sebelum pengucapan ikrar talak akan tetapi kurang maksimal.Setelah adanya PERMA, bekas suami boleh membayar iddah dan mut’ah sebelum atau sesudah pengucapan ikrar talak. Pada praktiknya, bekas suami diperintahkan untuk membayar iddah dan mut’ah sebelum pengucapan ikrar talak putusan. Tentunya hal ini suatu terobosan yang sangat menarik untuk dikaji. Sebab belum diketemukan dalam kaidah hukum Islam dan hukum positif bahwa bekas suami diwajibkan membayar iddah dan mut’ah sebelum pengucapan ikrar talak.
Pada perkara Cerai Gugat (CG), sebelum adanya PERMA No. 3 Tahun 2017, bekas istri tidak mendapatkan hak-haknya atau nafkah, mut’ah, iddah dan nafkah madliyah. Sesudah dikeluarkannya PERMA, pada putusan gugatan perceraian Nomor 3529/Pdt.G/2017/PA.Kdr, istri juga tidak memperoleh hak-haknya tersebut.
Berdasarkan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri, Syamsurijal, menjelaskan bahwa alasan hakim tidak memberikan hak-hak istri berupa nafkah iddah dan mut’ah, karena pada putusan CG, pihak istri yang mengajukan gugatan perceraian sehingga dalam hal ini istri dianggap nusyuz sehingga tidak berhak mendapatkan hak-hak nafkah iddahnya. (Rikza: 2018)
Menurut penulis, belum tentu istri yang mengajukan gugatan perceraian bisa dianggap nusyuz (melawan perintah suami/durhaka/membangkang). Sebab berdasarkan data yang diperoleh dari Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan, faktor penyebab nomor satu istri melayangkan CG adalah faktor ekonomi. Spesifiknya, suami tidak menjalankan tanggung jawab menafkahi istri dan anaknya. Faktor kedua adalah adanya campur tangan pihak ketiga dalam rumah tangga para pihak, disusul faktor selanjutnya ketiadaan komitmen para pihak untuk menjaga kelangsungan pernikahannya.
Sesuai dengan asas penghargaan atas harkat dan martabat perempuan sebagai seorang manusia, asas keadilan dan kemanfaatan yang terkandung di dalam PERMA No. 3 Tahun 2017, seyogyanya hakim mampu melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender terkait pemenuhan hak-hak penghidupan yang layak bagi pihak istri yang mengajukan CG. Sebagaimana Pasal 6 PERMA No. 3 Tahun 2017 ini hakim diharapkan mampu menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara, non diskriminasi.

Ekspresi perempuan jika dilindungi dengan baik/Cosmopolitan

Perlindungan hukum terhadap perempuan berhadapan dengan hukum setelah lahirnya PERMA No. 3 Tahun 2017 diharapkan semakin baik sebab pasal-pasal pada PERMA tersebut telah mengatur proses penanganan perkara yang berkeadilan gender.
![]() |
Ibu yang berbahagia bisa selalu bersama buah hatinya/ Muslimah.co.id |
Wah, pengetahuan saya lumayan bertambah nih tentang perlindungan hukum terhadap perempuan.
BalasHapusBicara soal hukum untuk perempuan memang banyak perempuan yang jadi korbanSemoga PERMA No.3 2017 inisegera ditindaklanjuti.
Dan saya perlu belajar lebih banyak tentang hukum dalam kehidupan sehari-hari.
Iya Mas, kadang ada oknum penegak hukum saat nanyain perempuan korban pemerkosaan malah nanyanya gak sopan. kasian kan
HapusJujur saya baru tau soal PERMA No. 3 2017 ini, Mbak. Terima kasih atas sharingnya. Semoga PERMA NO.3 2017 ini terus disosialisasikan dan bertindak lanjut ya, Mbak, agar kaum perempuan mendapatkan perlindungan hukum.
BalasHapusPERMA itu Peraturan Mahkamah Agung untuk digunakan sebagai pedoman oleh para hakim di seluruh Indonesia. Kita sebagai masyarakat paham juga, Mas. Agar kalau kerabat atau saudara kita di posisi "perempuan berhadapan dg hukum", keadilan bs ditegakkan dengan seadil²nya.
HapusAku salfok sama gambar dr cosmopolitan 😅 sekarang perempuan memang harus belajar ttg hukum jg nih biar tidak gampang ditindas ya, thanks sharingnya
BalasHapusHihi, menurutku face-nya representatif banget jd happy woman ❤️
HapusTentang hukum aku masih sangat awam, dan baru tahu adsnya perlindungan hukum apalagi untuk kaum perempuan
BalasHapusKl utk UU Perlindungan perempuan & anak sejak 2002 sudab ada Mbak, 2014 lalu diperbaharui malah. Tp pelaksanannya yg blm sesuai harapan
HapusMaaksih banyak udah sharing tulisan kayak gini.
BalasHapusAda banyak perempuan yang selalu ditindas saking nggak ngerti hukum.
Tapi, nggak usah lah dulu bicara hukum.
Saya kadang pengen sunat lagi para lelaki yang lupa, dulu mereka tuh lahir dari mana? sampai tega menindas wanita, hadeeehhh :(
Upss... Disunat lg, wkwk
HapusMelihat fenomena akan hukum terutama terhadap perlindungan perempuan buat saya sangat miris, belum ada UU yang benar-benar membela kaum perempuan.
BalasHapusBahkan ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Mbak
HapusSudah ada, tinggal penerapannya kita harap bs semakin baik
Jazakillah sharingnya kak. Miris pas baca bagian istri yang meminta cerai tidak mendapatkan hak-haknya. Oala.. itu kadang yang bikin perempuan mau saja disiksa suaminya mau mminta cerai mereka merasa tidak mempunyai kemampuan secara finansial untuk menghidupi diri dan anaknya.
BalasHapusIya, prihatin ya.
Hapussaya memang kurang terlalu faham dengan ilmu hukum tata perundang-undangan, tetapi jika dalam islam saja dijelaskan detail bagaimana harus memuliakan perempuan, tentunya memang ada hukum yang melindungi perempuan. Karena semuanya pastilah sama memiliki hak dan kewajiban
BalasHapushanya mungkin masalah kesetaraan gender masih banyak dipertanyakan di sekitar kita
HapusKl saya lebih sepakat dg keadilan gender. Saya pernah membahas soal itu di sini:
BalasHapushttps://www.fadlimia.com/2017/04/merefleksi-emansipasi-kartini.html?m=1
Setuju.Perempuan harus lebih sadar hukum dan tau apa langkah yang harus dilakukan sebagai korban.Yang lebih penting perempuan mesti mandiri secara finansial agar tidak terjebak dalam pelecehan dan kekerasan karena miskin.
BalasHapusSepakat, Mbak Dona.
HapusBagus banget nih kak, dibikin infografisnya biar mudah jadi bahan edukasi ke warganet nih Kak. Penting soalnya info ini
BalasHapusAku terus terang buta hukum tapi baca artikel ini merasa tertarik mbak. Selama ini kalau perempuannya lemah kdng suka kalh di pengadilan, misal pas cerai gtu2. Namun Perma no 3 ini merupakan salah satu upaya supaya perempuan terlindungi ya? Btw mbak lulusan sekolah hukum kah?
BalasHapusKakakku korban KDRT dan tidak dinafkahi selama pernikahannya. Suaminya pengangguran kakakku yang bekerja dan ada bantuan rutin dari mertua. Saat dia pergi dari rumah membawa 2 anaknya lalu mengajukan gugatan cerai dia tidak mendapatkan hak-haknya Bahkan sampai lebih dari setahun berlarut-larut proses cerainya. Padahal dia cuma menuntut cerai tidak menuntut harta.
BalasHapusSungguh lemah posisi perempuan di mata hukum ya..
Saya jadi banyak tahu hal baru setelah membaca artikel ini.
Terima kasih sudah berbagi:)
wah iya nih perempuan rentan banget untuk yang berususan dengan hukum, saya juga masih buta hukum nih, thanks infonya gan
BalasHapusWuihh bahasanya berat ya. Saya rasa penting juga ya kalau perempuan tau tentang perpu perempuan soale emang masih lemah sih nasib perempuan. Btw apa kaka sekolah hukum ya?.
BalasHapusBelum banyak kayaknya blogger yang membahas hukum ke arah perlindungan perempuan apalagi seteknis ini. Saya jadi tahu dan belajar banyak dengan PERMA 2007 ini, entah praktiknya sejauh mana dan bahkan disadari oleh perempuan itu sendiri dalam kasus hukum
BalasHapusSebagai perempuan rasanya malu nih saya kurang pengetahuan tentang hukum. Beruntung ketemu artikel ini, sedikit banyak saya jadi tahu negara melindungi saya dan perempuan lainnya dengan hukum.
BalasHapusWah berat ya topiknya. Berat tapi penting untuk Kita ketahui, supaya bisa mengambil langkah-langkah pencegahan atau solusi jika ada yang sebagai korban *amit-amit hiks
BalasHapusJadi bertambah banget wawasan setelah membaca blog ini mbak. Miris memang, masih banyak kasus-kasus yang melibatkan perempuan tapi kurang mendapatkan porsi dan keadilan yang pas.
BalasHapusApalagi pas baca yang istri gak dapat hak -haknya.
gerem rasanya.
Semoga kedepan bisa muncul keadilan bagi semua. Tidak hanya lelaki tetapi juga perempuan..
Kalau sudah berbicara soal hukum itu kompleks banget. Harus jeli dan tau betul akar duduk permasalahannya. Terkadang orang yang tidak mengerti dan gak paham akan hukum ya hanyalah menjadi penonton saja. Yang cukup uanglah yang bermain diatas.
BalasHapusJadi tau, akan pentingnya kita melek hukum ya kak.