📚 Pesantren Itu Keren 📚
"Yuk mondok...
Yuk mondok...
Ayo-ayo mondok
Mondok itu keren
Gak mondok gak keren"
Saya tersenyum sendiri mendengarkan lagu Despacito yang liriknya digubah menjadi cerita tentang anak pesantren. Ingatan saya kembali menyusuri lorong waktu puluhan tahun silam.
Sejak usia lulus SD saya ditawari melanjutkan sekolah ke pesantren. Namun sayang alam pikiran anak usia 11 tahun kala itu menduga-duga bahwa tinggal di pesantren adalah hal yang tidak mengenakkan.
Ditambah lagi kakek saya yang berpikiran bahwa pesantren adalah tempat membina anak-anak bandel yang tak sanggup lagi dididik orangtuanya, menjadikan saya membulatkan tekad menolak tawaran dari ayah dan bunda untuk masuk pesantren.
Meski urung masuk pesantren, kegiatan religius di rumah dan lingkungan sekitar tetap saya jalani. Sedari SD orangtua saya menyekolahkan saya di madrasah. Pagi hari mendapat pelajaran Matematika dan lain-lain di SD umum, sore harinya belajar nahwu shorof di madrasah ibtidaiyah.
Setelah maghrib waktunya mengaji Al Quran pada paman saya yang seorang qori'. Jika paman berhalangan karena jadi juri MTQ, ayah saya yang seorang ustadz menggantikan mengajari saya dan adik-adik membaca kitab suci dengan bacaan yang benar.
Selesai mengaji, makan malam, shalat Isya' dan kembali belajar. Mengerjakan PR atau sekadar membaca-baca buku pelajaran. Rasanya jadwal harian saya mirip dengan jadwal harian anak pesantren. Tak tersisa waktu untuk hal-hal yang kurang manfaatnya.
Ibu saya seorang ustadzah, memiliki dua jurus belajar yang selalu saya ingat sampai kapan pun dan kini saya menurunkannya ke putra putri saya. Jurus belajar agar cepat memahami materi pelajaran dari guru. Pertama, mengulang-ulang pelajaran yang sudah diberikan hari ini. Yang kedua, mempelajari terlebih dahulu materi pelajaran esok.
Mengulang pelajaran yang baru saja diterima hari ini agar tidak lupa. Membaca pelajaran yang akan diberikan guru esok hari semacam curi start agar pada saat besok guru menerangkan, paling tidak sudah ada 'pendahuluan' di kepala. Tidak ahistoris sama sekali tentang materi baru tersebut. Alhamdulillah, dengan mempraktikkan jurus ibu kami langganan tetap jadi bintang kelas.
Lulus dari Madrasah Aliyah saya melanjutkan kuliah di UGM. Nah, di sanalah petualangan saya jadi anak pondok dimulai. Karena khawatir dengan cerita horor mengenai pergaulan bebas oknum anak-anak kos di Jogja waktu itu, ayah dan ibu saya sepakat meminta saya untuk tinggal di pondok pesantren mahasiswa di bilangan Krapyak.
Kali ini saya tak menolak. Merantau ke kota yang sama sekali asing bagi remaja 17 tahun waktu itu. Tidak ada sanak saudara yang dikenal selain kolega ayah saya.
Meski tidak mondok di usia sekolah menengah, akhirnya saya mondok juga pada saat kuliah. Ibu saya bersyukur karena saya berada di lingkungan yang bisa dikatakan terjamin aman pergaulannya. Adik-adik saya hampir semuanya masuk pesantren selepas SD.
Syukurnya, putri sulung kami bersedia masuk pesantren. Mungkin dia banyak mengetahui 'succes stories' mondok dari tante-tantenya (adik-adik saya). Sekarang ada yang sudah mencapai cita-citanya. Jadi hakim, guru dan project officer. Anggapan dahulu, menyekolahkan anak ke pesantren bukanlah pilihan utama.
Kesannya, masuk pesantren itu sama dengan masuk penjara suci. Anak-anak yang tinggal di pesantren adalah anak-anak yang tidak lulus seleksi dari sekolah yang lain. Atau memiliki akhlak yang minus. Sehingga membutuhkan penanganan khusus di dalam pesantren.
Kini persepsi demikian tak lagi melekat pada pesantren. Di pesantren tempat anak saya belajar, Ar Raudlatul Hasanah, Medan, misalnya. Dengan muatan kurikulum 100% Gontor dan peraturan yang berjalan dengan sangat ketat.
Bisa lulus seleksi masuk menjadi santri di pesantren tersebut saja adalah sesuatu yang prestisius. Peserta tes mencapai ribuan jumlahnya sementara yang diterima hanya ratusan setiap tahunnya.
Kemudian, tiap tahunnya diberlakukan sistem gugur jika santri tidak bisa memenuhi standar kualifikasi untuk kenaikan kelas. Ada Tim Supervisor yang menilai secara objektif. Ustadz dan ustadzah yang masuk di kelas tidak melakukan penilaian, mungkin untuk menjaga netralitas dalam membubuhkan angka hasil ujian.
Tak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan ilmu agama, di pesantren juga diajarkan ketrampilan sebagai bekal hidup berdikari di masa depan. Ada ekstrakurikuler menjahit dan membordir buat santriwati, otomotif dan bertani bagi santriwan. Masih banyak lagi ekskul yang mendukung dan bisa menjadi modal keahlian di masa yang akan datang.
Kesimpulannya sama persis dengan lirik lagu Menara Band diatas. Band besutan santri-santri Pondok Modern Darussalam Gontor. Mondok itu keren, kalau gak mondok...ah masa' sih gak keren juga. Hehe.
Sumber foto: koleksi pribadi
Yuk mondok...
Ayo-ayo mondok
Mondok itu keren
Gak mondok gak keren"
Saya tersenyum sendiri mendengarkan lagu Despacito yang liriknya digubah menjadi cerita tentang anak pesantren. Ingatan saya kembali menyusuri lorong waktu puluhan tahun silam.
Sejak usia lulus SD saya ditawari melanjutkan sekolah ke pesantren. Namun sayang alam pikiran anak usia 11 tahun kala itu menduga-duga bahwa tinggal di pesantren adalah hal yang tidak mengenakkan.
Ditambah lagi kakek saya yang berpikiran bahwa pesantren adalah tempat membina anak-anak bandel yang tak sanggup lagi dididik orangtuanya, menjadikan saya membulatkan tekad menolak tawaran dari ayah dan bunda untuk masuk pesantren.
Meski urung masuk pesantren, kegiatan religius di rumah dan lingkungan sekitar tetap saya jalani. Sedari SD orangtua saya menyekolahkan saya di madrasah. Pagi hari mendapat pelajaran Matematika dan lain-lain di SD umum, sore harinya belajar nahwu shorof di madrasah ibtidaiyah.
Setelah maghrib waktunya mengaji Al Quran pada paman saya yang seorang qori'. Jika paman berhalangan karena jadi juri MTQ, ayah saya yang seorang ustadz menggantikan mengajari saya dan adik-adik membaca kitab suci dengan bacaan yang benar.
Selesai mengaji, makan malam, shalat Isya' dan kembali belajar. Mengerjakan PR atau sekadar membaca-baca buku pelajaran. Rasanya jadwal harian saya mirip dengan jadwal harian anak pesantren. Tak tersisa waktu untuk hal-hal yang kurang manfaatnya.
Ibu saya seorang ustadzah, memiliki dua jurus belajar yang selalu saya ingat sampai kapan pun dan kini saya menurunkannya ke putra putri saya. Jurus belajar agar cepat memahami materi pelajaran dari guru. Pertama, mengulang-ulang pelajaran yang sudah diberikan hari ini. Yang kedua, mempelajari terlebih dahulu materi pelajaran esok.
Mengulang pelajaran yang baru saja diterima hari ini agar tidak lupa. Membaca pelajaran yang akan diberikan guru esok hari semacam curi start agar pada saat besok guru menerangkan, paling tidak sudah ada 'pendahuluan' di kepala. Tidak ahistoris sama sekali tentang materi baru tersebut. Alhamdulillah, dengan mempraktikkan jurus ibu kami langganan tetap jadi bintang kelas.
Lulus dari Madrasah Aliyah saya melanjutkan kuliah di UGM. Nah, di sanalah petualangan saya jadi anak pondok dimulai. Karena khawatir dengan cerita horor mengenai pergaulan bebas oknum anak-anak kos di Jogja waktu itu, ayah dan ibu saya sepakat meminta saya untuk tinggal di pondok pesantren mahasiswa di bilangan Krapyak.
Kali ini saya tak menolak. Merantau ke kota yang sama sekali asing bagi remaja 17 tahun waktu itu. Tidak ada sanak saudara yang dikenal selain kolega ayah saya.
Meski tidak mondok di usia sekolah menengah, akhirnya saya mondok juga pada saat kuliah. Ibu saya bersyukur karena saya berada di lingkungan yang bisa dikatakan terjamin aman pergaulannya. Adik-adik saya hampir semuanya masuk pesantren selepas SD.
Syukurnya, putri sulung kami bersedia masuk pesantren. Mungkin dia banyak mengetahui 'succes stories' mondok dari tante-tantenya (adik-adik saya). Sekarang ada yang sudah mencapai cita-citanya. Jadi hakim, guru dan project officer. Anggapan dahulu, menyekolahkan anak ke pesantren bukanlah pilihan utama.
Kesannya, masuk pesantren itu sama dengan masuk penjara suci. Anak-anak yang tinggal di pesantren adalah anak-anak yang tidak lulus seleksi dari sekolah yang lain. Atau memiliki akhlak yang minus. Sehingga membutuhkan penanganan khusus di dalam pesantren.
Kini persepsi demikian tak lagi melekat pada pesantren. Di pesantren tempat anak saya belajar, Ar Raudlatul Hasanah, Medan, misalnya. Dengan muatan kurikulum 100% Gontor dan peraturan yang berjalan dengan sangat ketat.
Bisa lulus seleksi masuk menjadi santri di pesantren tersebut saja adalah sesuatu yang prestisius. Peserta tes mencapai ribuan jumlahnya sementara yang diterima hanya ratusan setiap tahunnya.
Kemudian, tiap tahunnya diberlakukan sistem gugur jika santri tidak bisa memenuhi standar kualifikasi untuk kenaikan kelas. Ada Tim Supervisor yang menilai secara objektif. Ustadz dan ustadzah yang masuk di kelas tidak melakukan penilaian, mungkin untuk menjaga netralitas dalam membubuhkan angka hasil ujian.
Tak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan ilmu agama, di pesantren juga diajarkan ketrampilan sebagai bekal hidup berdikari di masa depan. Ada ekstrakurikuler menjahit dan membordir buat santriwati, otomotif dan bertani bagi santriwan. Masih banyak lagi ekskul yang mendukung dan bisa menjadi modal keahlian di masa yang akan datang.
Kesimpulannya sama persis dengan lirik lagu Menara Band diatas. Band besutan santri-santri Pondok Modern Darussalam Gontor. Mondok itu keren, kalau gak mondok...ah masa' sih gak keren juga. Hehe.
Sumber foto: koleksi pribadi
Posting Komentar untuk "📚 Pesantren Itu Keren 📚"
Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.