Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenang Rachel Corrie Untuk Palestina

Masih ingatkah dengan sebuah nama, Rachel Corrie, warga negara Amerika Serikat yang 16 Maret 2003 silam meninggal terbunuh dengan cara mengenaskan di Rafah, Jalur Gaza, Palestina?

Ya, dia Rachel Aliene Corrie. Ia berada di Rafah sebagai aktivis Gerakan Solidaritas Internasional untuk Palestina. Saat itu ia tengah menyuarakan pembelaan terhadap apoteker Palestina, salah satu sahabat yang rumahnya akan diratakan dengan buldozer tentara Israel. Rachel Corrie tinggal berminggu-minggu di rumah itu.

Jiwa kepedulian yang telah kuat tertanam sedari kecil dalam diri gadis kelahiran Olympia, Washington, AS itu, semakin tak mampu membungkamnya sedikitpun ketika ketidakadilan dan kesemena-menaan terjadi di depan matanya. Dengan toa ia memprotes keras tentara Israel yang terus saja merangsek ke arahnya yang berdiri di depan rumah. Buldozer itu benar-benar melindas habis tubuhnya. Tulang tengkoraknya retak, tulang-tulang rusuknya hancur, menusuk ke paru-paru. Pejuang kemanusiaan itu wafat di tanah perjuangan Palestina.

Tentara Israel seakan tuli, bahkan buta. Hal ini diketahui di kemudian hari saat orangtua Rachel Corrie, Craig Corrie dan Cindy Corrie, mengajukan gugatan perdata kepada pemerintah Israel terkait peristiwa ini. Pelaku penabrakan Rachel Corrie mengaku tak melihat apapun. 

Peristiwa itu diklaim murni kecelakaan. Meski akhirnya setelah foto saat terakhir Rachel Corrie menghadang buldozer, tersebar ke penjuru dunia, jutaan pasang mata menyaksikan jaket jingga yang dikenakan perempuan berusia duapuluh empat tahun itu adalah berwarna terang. Mustahil mata operator buldozer tak melihatnya. 

Tak bisa disalahkan jika ada dugaan memang terdapat unsur kesengajaan melindas aktivis perjuangan korban anak-anak Palestina itu. Pemerintah Israel dituding tidak kredibel dan tidak bertanggung jawab dalam melakukan penyelidikan secara penuh terhadap peristiwa itu. Bahkan membayar satu dollar AS sebagai kompensasi simbolis jika kasus itu dianggap kecelakaan pun Israel tak bersedia. Sungguh tidak ada keadilan untuk Rachel Corrie.

Ah, Rachel Corrie, saya saja malu tak bisa berbuat apapun selain berdoa untuk Palestina. Agar wilayahnya yang terang-terangan dicaplok hanya dengan pidato pernyataan seorang manusia, bisa dipulihkan sebagaimanamestinya. 

Saya hanya dapat prihatin dalam hati saat menyelancari mesin pencari di internet untuk menemukan peta Palestina yang ternyata tidak ada (atau ditiadakan?). Nama daerah itu telah berganti menjadi Israel. 

Saya juga tak bisa ikut aksi kemanusiaan bela Palestina karena memikirkan bayi enam bulan saya yang lebih aman beristirahat di rumah ketimbang berpanas-panasan di Mesjid Raya Al Mahsun, Medan, kemarin. Sekali lagi hanya dengan selemah-lemahnya iman saya berdoa untuk Palestina. 

Rachel Corrie, nama yang pasti tak akan pernah lekang dari hati anak- anak Palestina. Demikian juga di hati siapapun yang bersepakat menentang kejahatan dan penjajahan terhadap harkat hidup manusia. Namanya akan selalu terpatri indah di sanubari semua orang yang mencintai kemerdekaan, sampai kapanpun. Sebagai salah satu penanda sejarah di ribuan kolase ingatan dunia, bukti kebiadaban Israel terhadap kemanusiaan.

Medan, 19 Desember 2017

Sumber foto: Google


























Posting Komentar untuk "Mengenang Rachel Corrie Untuk Palestina"