Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inkonsistensi Penggunaan Bahasa Dalam Bidang Hukum



Menurut KBBI inkonsistensi artinya tidak taat asas, suka berubah-ubah (tentang sikap, pendirian, seseorang, pemakaian atau pengejaan kata, dan sebagainya). Tulisan kali ini hendak membahas tentang inkonsistensi penggunaan bahasa dalam bidang hukum.

Di artikel sebelumnya telah dipaparkan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam bidang hukum yang masih jauh dari harapan. Faktor penyebabnya antara lain:
  1. Para pembuat aturan dan penegak hukum tidak menguasai bahasa Indonesia secara baik.
  2. Minimnya padanan kosa kata bahasa Indonesia membuat dokumen hukum berbahasa asing seperti bahasa Belanda dan Inggris.
  3. bahasa yang digunakan masih bergaya orde lama, kurang sempurnanya semantik kata, bentuk komposisi kalimatnya masih memakai istilah-istilah yang tidak tetap dan kurang jelas.
  4. sulitnya membuat pedoman istilah-istilah hukum karena pengertian istilah hukum pada umumnya.
Menyusun pedoman istilah-istilah hukum ini memiliki tantangan tersendiri, pertama, tidak sesuai dengan pembentukan istilah yang dituntunkan kaidah bahasa Indonesia secara baik dan benar. Kedua, istilah-istilah hukum ini lebih panjang entrinya daripada istilah bidang ilmu yang lain.

Profesional hukum mengenal "istilah-istilah" hukum yang dimaksud kalangan ahli bahasa Indonesia umum dengan adagium. Pada bidang hukum lebih lazim memakai kata adagium ketimbang istilah yang lainnya. Adagium artinya peribahasa, pepatah, nomina (kata benda) yang berasal dari bahasa latin.

Contohnya, Ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di sana ada hukum), lex specialis derogat legi generali (hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum), fiat justitia roat coelum (hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit runtuh), res judicata pro veritate habetuur (apa yang diputus hakim harus dianggap benar).

Masih banyak adagium-adagium lainnya yang digunakan dalam bidang hukum. Berdasarkan pengamatan penulis selama ini, penggunaan adagium ini kerap dimaksudkan untuk menguatkan substansi dalam suatu produk hukum yang dikeluarkan profesional hukum saat menjalankan tugasnya.

Ada semacam sesuatu yang kurang jika tidak mengikutsertakan adagium dalam setiap nota pembelaan kuasa hukum atau putusan hakim, misalnya. Sehingga jika adagium dalam bahasa aslinya tidak dicantumkan, seolah-olah ada kekhawatiran dianggap tidak kompeten dalam mengkonstruksi hukum.

Di satu sisi hal ini menimbulkan kesulitan bagi masyarakat awam. Adagium-adagium ini tidak bisa sinkron dengan proses pembentukan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga adagium selamanya hanya dipahami oleh para profesional hukum.

Menurut pendapat pakar hukum, sebenarnya penggunaan adagium ini ada yang tepat dan ada pula yang tidak tepat ketika diimplementasikan dalam praktik. Padahal pembahasan hukum tidak bisa dilepaskan dari proses menuju kebenaran dan keadilan.

Temuan hasil penelitian dalam Undang-Undang Lalu Lintas misalnya, menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan kesalahan penggunaan bahasa, baik pemilihan kata yang taksa (bermakna lebih dari satu) sehingga multitafsir, maupun kesalahan penulisan ejaannya, yaitu kesalahan penulisan huruf kapital, penggunaan tanda baca (:), penulisan rupiah, penggunaan kata sambung dan, penggunaan tanda baca (;).Kesalahan-kesalahan penggunaan bahasa ini bisa membingungkan masyarakat yang berusan dengan hukum.

Ke depannya diharapkan para profesional hukum memiliki komitmen untuk berlaku konsisten terhadap penggunaan bahasa di bidang hukum. Sesuai dengan tujuan hukum yang salah satunya untuk menjamin kepastian hukum, sudah saatnya kembali ke peraturan perundang-undangan mengenai bahasa yang dibentuk oleh profesional hukum itu sendiri. 

Undang-Undang Bahasa, PP PUEBI dan KBBI sudah disusun sedemikian rupa, tinggal kemauan dan tekad bersama para profesional hukum untuk menggunakannya secara baik dan benar.

Referensi:

https://prosiding-2018.struktural.dinus.ac.id/publications/274170/multitafsir-penggunaan-bahasa-indonesia-pada-undang-undang-republik-indonesia-no https://prosiding-2018.struktural.dinus.ac.id/media/274170-multitafsir-penggunaan-bahasa-indonesia-770d3768.pdf

Lilis Hartini, 2014, Bahasa Dan Produk Hukum, Rineka Cipta, Bandung.

https://lektur.id/arti-adagium/








6 komentar untuk "Inkonsistensi Penggunaan Bahasa Dalam Bidang Hukum"

  1. Ternyata inkonsistensi bukan urusan hati saja ya Mbak. Tapi bisa terjadi dalam penggunaan bahasa juga. Hihi

    BalasHapus
  2. Wah.. Keren Mbak tulisannya. Meski cukup berat dicerna tapi syarat ilmu

    BalasHapus
    Balasan
    1. makanya dibagi-bagi nih Mbak, biar gak berat ^^

      Hapus
  3. Oh baru tahu, ya, ada inkonsistensi Bahasa dlm hukum ... Makasih sharenya Mbak, smg barokah berbagi ilmunya

    BalasHapus
  4. Mungkin ini alasannya banyak org malas berhubungan dgn org hukum x ya mba, kadang bahasanya sulit dimengerti. Hihii...

    BalasHapus

Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.