Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengunaan Bahasa Indonesia Hukum Oleh Para Profesional Hukum

Di era globalisasi sekarang ini perkembangan teknologi informasi sangat pesat. Kemajuan berkomunikasi ini sedikit banyak memiliki dampak pula bagi penggunaan bahasa. Demi alasan menyingkat waktu dan ingin langsung menyampaikan inti pembicaraan, bahasa  baku mulai ditinggalkan. Akhirnya karena semua memakai bahasa lisan, bahasa pergaulan sehari-hari kadang tanpa sadar terbawa-bawa ke dunia profesi, tak terkecuali ke dalam dunianya profesional hukum.

Siapakah yang dimaksud dengan kaum profesional hukum? Mereka adalah orang-orang yang dalam kesehariannya berkecimpung di bidang hukum. Polisi, konsultan hukum, advokat, dosen fakultas hukum, peneliti hukum, jaksa dan hakim. Setiap hari berkutat dengan berkas dan dokumen hukum, baik sebagai teoritisi atau akademisi maupun sebagai praktisi hukum.

Keduanya saling bersinergi berkontribusi dalam satu sistem, saling mengkritik secara konstruktif, dan saling mendukung demi tercapainya satu kondisi supremasi hukum. Saat hukum benar-benar menjadi panglima, bukan sekadar alat kekuasaan yang bisa digunakan sekehendaknya.

Bahasa hukum para praktisi hukum

Mengapa para profesional hukum dituntut harus konsisten terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar?

Bahasa baku mengandung pola pikir yang ilmiah. Dalam proses berpikir bahasa selalu berhubungan dengan logika, untuk merumuskan permasalahan, mengusulkan penyelesaian dan menarik kesimpulan. Termasuk melakukan kalkulasi dan analisis. Dapat dikatakan bahwa semakin ilmiah bahasa yang digunakan seseorang maka semakin baik pula kemampuan berpikirnya.

Menurut Anton M. Moeliono, ada delapan ciri-ciri bahasa ilmiah atau bahasa keilmuan, yaitu sebagai berikut:
  1. lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan
  2. objektif dan menekan prasangka pribadi
  3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat dan kategori yang diselidikinya untuk menghindari kesimpangsiuran
  4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran bersensasi
  5. cenderung membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya paparannya berdasarkan konvensi
  6. tidak dogmatik atau fanatik
  7. bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai
  8. bentuk, makna, dan fungsinya lebih mantap dan stabil daripada yang dimiliki kata biasa
Hal yang cukup penting dilakukan dalam mempertahankan bahasa Indonesia dari gempuran bahasa nonbaku adalah kerjasama dan peran serta para profesional hukum dan (bidang lainnya juga) untuk bersama-sama bersepakat menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Sepanjang pengetahuan penulis belum ada lagi penyelenggaraan simposium bahasa hukum sebagaimana yang telah diadakan di Medan pada tahun 1974 lalu berdasarkan yang dimuat di beberapa literatur. Hal ini mestinya menjadi perhatian dan usulan agenda yang harus diutamakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) demi terciptanya ketertiban berbahasa di antara profesional hukum.

Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya bahasa Indonesia yang digunakan oleh profesional hukum itu sama saja dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Perbedaannya terletak dari banyaknya istilah-istilah berbahasa asing dan banyaknya kata-kata yang multitafsir sehingga diperlukan penguasaan terhadap penafsiran hukum.

Jika para ahli hukum tetap bertahan pada bahasanya yang sekarang, maka bisa dipastikan masyarakat awam tetap menemui kesulitan dalam mengakses pengetahuan dan wawasan terkait perkara yang tengah mereka hadapi. Alhasilnya mereka meminta bantuan profesional hukum sebab tidak berhasil menolong dirinya sendiri.

Profesional hukum sengaja atau tidak, telah menciptakan kesan bahwa bidang hukum itu eksklusif, tidak terjamah orang pada umumnya. Padahal siapakah yang membentuk peraturan perundang-undangan tentang bahasa? Tidak lain para profesional hukum sendiri, bukan. Hal ini selayaknya menjadi bahan perenungan bagi kita semua, tak terkecuali penulis yang juga merasa ikut menyumbang pada penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan PUEBI 2015.

Menarik untuk menjadi masukan bagi para profesional hukum, ada beberapa keuntungan jika mengembalikan bahasa Indonesia pada posisi sebenarnya, sesuai dengan kaidah PUEBI, yaitu:
  1. Kita tidak akan kehilangan ciri khas bahasa hukum sebagai penambah “gengsi” profesional hukum. Karena kita masih mempertahankan sistematika penulisan hukum.
  2. Jika terjadi komunikasi dua arah, sebenarnya sudah dapat meringankan pekerjaan para profesional hukum.
  3. Jika kalimat-kalimat hukum dibuat lebih sederhana, maka tidak akan terjadi lagi multitafsir, yang akan membingungkan praktisi hukum dan masyarakat pengguna hukum; dan
  4. Jika mengadopsi kalimat-kalimat asing, lebih baik tidak mengadopsi sistem gramatikalnya karena gramatikal bahasa Indonesia berbeda dengan gramatikal bahasa asing.


Referensi:

Lilis Hartini, 2014, Bahasa dan Produk Hukum, Refika Aditama, Bandung, hlm. 121

Nurhilmiyah, 2018, Analisis Yuridis Penerapan Bahasa Indonesia Secara Baik Dan Benar Pada Profesional Hukum, Prosiding disampaikan Diskusi Panel Call for Papers Dosen-dosen Fakultas Hukum UMSU, 22 Desember 2018.


5 komentar untuk "Pengunaan Bahasa Indonesia Hukum Oleh Para Profesional Hukum"

  1. Semua org hrs menggunakan PUEBI, dibidang apapun ia bekerja.

    BalasHapus
  2. Gramatikal bahasa itu apa ya, Bu Dos? Apakah maksudnya grammer? Susunan subjek, predikat, objek, keterangan?

    BalasHapus
  3. wuah iya dong, jangan sampai bermakna ganda

    BalasHapus
  4. Penting banget menggunakan bahasa sesuai PUEBI sehingga bisa bersinergi dalam bekerja dan meminimalkan kesalah pahaman dalam komunikasi khususnya dalam lingkup profesional ya....

    BalasHapus
  5. Sebenarnya Bahasa di bidang apapun sama saja. Kaidahnya tetap mengikuti aturan baku, yaitu EBI dan KBBI.

    BalasHapus

Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.