Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengalaman Mengajar Tak Terlupakan

Sumber foto: dok. Pribadi
(Sepulang mengajar langsung membawa si kecil nomor dua, naik odong-odong di Lapangan Parasamya, Kisaran, 2008)

Waktu itu usia saya masih 23 tahun. Pertama kali diangkat menjadi CPNS dosen Kopertis Wilayah I Sumatera Utara (dulu Sumut dan Aceh, sekarang Sumut saja) dan ditempatkan di Universitas Asahan (UNA), PTS di Kisaran, Kabupaten Asahan yang berjarak kurang lebih 180 km dari Kota Medan, domisili saya.

Awal mula dipekerjakan di UNA saya banyak mengeluhnya. Waktu tempuh yang memakan waktu 4 jam, membuat saya pernah harus berangkat dini hari atau malam sebelumnya bila jadwal kuliah masuk pagi atau agar tidak terlalu terburu-buru dan bisa beristirahat sebentar melepas lelah di mess kampus, sembari menanti jam mengajar.

Syukurnya jadwal perkuliahan di kampus itu dimulai pukul. 14.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB.
Mengapa tidak pindah domisili saja ke kota letak kampus berada? Pertanyaan itu yang sering saya terima dari rekan-rekan sejawat dari perguruan tinggi lain. Tak hanya mereka, pihak keluarga juga menanyakan hal serupa.

Karena menaruh kasihan pada saya yang harus bersusah payah keluar kota untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang dosen. Sebenarnya saya bersedia pindah ke kota kecil itu. Hanya saja suami saya bekerja di instansi pemerintahan di luar kota yang lebih jauh lagi dari saya, di Pandan, Tapanuli Tengah. Waktu tempuh jika menggunakan bus malam selama 10 jam! Di kabupaten tempat suami saya bertugas itu ada perguruan tingginya.

Saya sudah mencoba mengurus mutasi (kalau sekarang mengurus pindah home base namanya) ke sana. Namun oleh rektor universitas tempat saya mengajar, izin tidak diberikan. Alasannya logis, sebenarnya. Beliau mengatakan kalau saya meminta mutasi ke kampus yang lebih tinggi akreditasinya dari yang sekarang, silakan. Tetapi kalau lebih rendah maka dia tidak menyetujuinya.

Hal ini akan berpengaruh pada perkembangan karir saya ke depannya, katanya. Sebagai dosen junior, rasanya saya tidak memiliki argumentasi yang lebih baik lagi untuk menjawabnya.

Setelah bermusyawarah dengan suami, akhirnya kami sepakat memilih Medan sebagai basis tempat  sewaktu suami saya pulang di akhir pekan, agar kami bisa family time di rumah. Kebetulan anak kami baru seorang, selama saya bolak-balik Medan-Kisaran-Medan, adik saya membantu menjaga putri kami.

Begitulah seterusnya hingga anak ketiga lahir (rata-rata jarak tiga tahun), akhirnya kami memutuskan pindah ke Kisaran. Dengan konsekuensi suami yang mengurus mutasi ke kantor yang berkedudukan di Kisaran.

Pertama kali menginjakkan kaki di kampus UNA, saya terheran-heran mencari mahasiswa yang lalu lalang. Bagaikan tidak ada denyut nadi kehidupan kampus pada umumnya. Mahasiswa hanya ada saat jam kuliah. Dulu kampus itu tak sebesar sekarang. Akreditasi juga tak sebaik kini.

Mungkin pikiran saya masih terpengaruh dengan semaraknya suasana perkuliahan di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), alma mater saya dahulu. Amat sangat berbeda. Para mahasiswanya yang selalu tampak hilir mudik tak habis-habis. Meski tak ada kuliah, mahasiswa mendatangi perpustakaan. Membaca beramai-ramai di sana. Bagi yang sedang menyusun skripsi sibuk menjumpai dosen pembimbingnya. Kampus yang tak pernah sepi.

Tapi kenyataan yang saya hadapi di sini jauh berbeda. Jumlah mahasiswa yang sedikit, kegiatan kampus yang hampir tak ada. Saya mencoba memahami perbedaan kondisi ini. Saya menyemangati diri, justru saya ditempatkan pemerintah di kampus ini agar saya bisa mengabdi dan berbakti menghidupkan aktivitas kampus. Berbakti pada anak negeri.

Pengalaman mengajar yang tak terlupakan bagi saya adalah pengalaman mengajar pertama kalinya. Penampilan perdana di depan mahasiswa yang usianya jauh lebih tua dari saya. Begitu saya masuk ke kelas sudah ada suara suitan dari mahasiswa.

Mungkin karena masih usia 20-an, fresh graduate (penerimaan CPNS Dosen Kopertis tahun 2004 masih S1), dan sebagai dosen baru, aura dosennya belum terpancar. Masih seperti mahasiswa juga. Saya mengingat-ingat cara mengajar dosen saya dahulu waktu saya S1 di Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM.

Maklumlah, background yang bukan di bidang kependidikan, sebelumnya tidak pernah memperoleh mata kuliah micro teaching, membuat saya berusaha keras meniru gaya dan pembawaan dosen yang saya sukai.

Jadilah akhirnya saya mencampur cara dan gaya para dosen saya dengan cara dan pembawaan saya sendiri. Dulu saya tidak menyukai kuliah yang dosennya duduk melulu. Seolah-olah tidak mau tahu keadaan para mahasiswanya yang duduk di belakang. Kecuali dosen yang sudah sepuh, tentunya saya sebagai mahasiswa bisa berempati.

Maka dari itu ketika saya “manggung”, saya selalu berdiri di depan kelas dan sesekali berjalan-jalan ke depan dan ke belakang untuk mengetahui kondusivitas suasana pembelajaran. Saya kurang simpati pada dosen yang suka marah-marah, misalnya. Maka kepada mahasiswa, saya hindari sikap demikian.

Saya menyenangi dosen yang bersuara lantang kalau menerangkan. Karena materi kuliah menjadi jelas terdengar. Maka suara saya saat mengajar diusahakan tidak terlalu pelan meski saya perempuan. Suara saya harus bisa didengarkan sampai ke posisi mahasiswa paling belakang. Hal ini untuk menghindari mahasiswa mengantuk saat mengikuti tatap muka.

Bagi saya urusan nilai ujian tidak sulit. Namun bukan berarti tidak menjaga mutu perkuliahan. Untuk soal yang berbentuk essay, jika jawaban mahasiswa sudah mendekati kebenaran, maka sudah masuk kategori benar. Tak perlu 100% benar titik koma wajib sama dengan materi ajar, karena bisa jadi malah memacu mahasiswa untuk membuat contekan.

Suasana perkuliahan juga sebaiknya serius tapi santai. Selalu ada sesi dialog interaktif, two way communication antara dosen dengan peserta didiknya. Sehingga atmosfer yang melingkupi, demokratis dan humanis. Saya juga berusaha menjadi pribadi yang ramah kepada setiap orang, baik rekan sejawat, para staf kampus dan mahasiswa.

Meski demikian saya bukanlah tipe dosen yang suka bepergian bersama mahasiswanya seperti rekreasi, atau makan-makan di luar, kecuali untuk kegiatan-kegiatan resmi kampus. Bukan bermaksud menjaga jarak atau menjaga image (jaim) di depan mahasiswa, rasanya tidak nyaman saja berada di tengah-tengah mahasiswa bukan dalam urusan kampus. Ini pendapat pribadi saja.

Saya lihat beberapa rekan enjoy saja tertawa-tawa bareng mahasiswanya, bercanda bersama. Pada hari saat saya sedang asyik menyampaikan materi kuliah Sosiologi Hukum, ada mahasiswa yang sudah cukup berumur, lebih tua di atas saya yang waktu itu masih 23 tahun. Mengangkat kakinya dengan santai seperti tidak sedang kuliah.

Tadinya saya tidak terpengaruh, pembelajaran andragogi yang ditujukan bagi peserta didik dewasa di perguruan tinggi sangat berbeda dengan pedagogi di sekolah dasar dan menengah. Tidak mungkin saya menegurnya sambil marah-marah.

Tentunya akan mempermalukan si mahasiswa di depan teman-teman sekelasnya. Seharusnya jika saya sudah meliriknya sedikit saja maka yang bersangkutan akan tahu diri dan memperbaiki duduknya. Namun sudah tiga kali saya melayangkan pandangan ke dia tetap saja duduk dengan tidak pantas.

Akhirnya saya berkesimpulan, si mahasiswa memang sengaja memancing perhatian saya agar menegurnya di kelas. Meskipun itu di hadapan kawan-kawannya.
Saya sempat berpikir, apakah karena saya jauh lebih muda daripada dia maka dengan begitu ia tidak berhasil menerima kode tatapan dari saya. Lalu saya katakan kepadanya,

“Maaf ya, Pak, ini ruang kuliah kita, bukan warteg. Tolong duduknya diperbaiki. Siapa lagi yang akan menghormati mimbar akademik kalau tidak kita sendiri.”

Saya berusaha menjaga mimik wajah agar tetap datar dan menyapanya dengan panggilan “pak” berhubung sudah tua, sungkan rasanya kalau saya sapa dengan “mas” sementara ingin memanggilnya dengan sebutan “saudara” (kebiasaan sapaan dari dosen ke mahasiswa), khawatir menimbulkan kesan sangat formal. Kepada peserta didik yang lebih muda atau sebaya, saya terbiasa memanggil dengan “anda” atau “saudara”.

Sontak mahasiswa yang lain tertawa. Mungkin mendengar kata “warteg” dari saya tadi. Mereka memandangi bapak tersebut yang tersenyum sambil garuk-garuk kepalanya yang mungkin mendadak gatal. Tanpa berkata apapun dia menurunkan kakinya, tidak lagi bertingkah seperti sebelumnya.

Tampaknya usahanya membuat saya emosi atau marah, sia-sia, karena saya biasa saja, teman-temannya sendiri yang akhirnya menyuruh ia menurunkan kaki dari kursi. Belakangan saya dapat informasi dari salah seorang temannya, ternyata dia itu Pak Kades di desanya.

Maklum, sebagai orang nomor satu di kampungnya ia pasti disegani dan dihormati keberadaannya. Sementara di ruang kuliah semua peserta didik diperlakukan sama sederajat. Tidak memandang status, pangkat dan jabatan. Semua memiliki kesempatan untuk bertanya, berdiskusi dan memperoleh nilai sesuai hasil ujian yang dikerjakannya.

Hari yang lain di kelas yang berbeda ada kisah yang masih selalu saya ingat. Waktu itu tatap muka terakhir sebelum Ujian Tengah Semester (UTS). Di pertemuan ke-7 saya memberikan rangkuman kuliah tengah semester. Saat semua mahasiswa asyik mencatat, ada seorang bapak yang duduk santai saja seperti tidak ada apa-apa.

Karena saya melihat ke arahnya, ia balas memandang ke arah saya dengan tangan terlipat di dada dan dagu agak terangkat ke atas. Hmm, mungkin kepala desa lagi nih, pikir saya. Karena di kelas khusus Jumat dan Sabtu, kampus membuka kelas khusus. Biasanya yang berkuliah ada para karyawan, perangkat desa termasuk para kepala desa.

Saya berpura-pura memeriksa hasil salinan mahasiswa dengan berjalan ke belakang. Sampai di dekat bapak tersebut saya menegurnya.

“Sudah selesai mencatatnya, Pak?"

“Sudah, Bu”, jawabnya. Wow, pikir saya.

Cepat sekali dia mengerjakannya padahal saya perhatikan dari depan tadi ia tak mengerjakan apapun. Hanya duduk melihat-lihat.

“Kalau begitu bisa saya lihat hasilnya, Pak?”, tanya saya.

Dia pun menyikut teman duduknya di sebelah, seolah menyuruh temannya itu memberikan catatannya ke saya. Catatan saya terima, namun ada kertas karbonnya, saya bertanya lagi,

“Ini kan punya Pak Budi (nama samaran), catatan Bapak mana, trus ini mengapa ada kertas karbon di catatan?”

“Inilah punya saya, Bu.. yang mengerjakan Pak Budi, kertas karbon itu dibawa dari kantor agar Pak Budi bisa menyelesaikan punya saya juga” jawabnya masih santai.

Saya tersenyum mendengar jawabannya. Baru sekali ini saya mendapati orang kuliah sambil membawa-bawa kertas karbon. Mahasiswa yang lain pun tersenyum melihat catatan berkertas karbon. Pak Budi yang namanya disebut-sebut hanya diam seribu bahasa tak berani ikut menjawab. Jabatannya yang setingkat di bawah Kades menjadikannya menuruti saja apa kemauan atasannya.

“Oh, tidak bisa begitu, Pak. Ini tugas individual jadi setiap orang mengerjakan tugasnya sendiri-sendiri”, ujar saya sambil mengembalikan catatan unik itu ke Pak Budi.

“Bukankah sama saja,  Bu.. di kantor, Pak Budi ini kan Sekdes, sekretaris saya. Jadi memang tugasnya mencatatkan sesuatu untuk saya”. Benar dugaan saya, lagi-lagi Kepala Desa. Pangkat tertinggi di suatu desa namun terbawa-bawa sampai di kampus.

“Begini ya Pak... memang saya jadi tahu Bapak adalah seorang Kepala Desa di tempat Bapak. Tapi mohon maaf ini perguruan tinggi. Tidaklah sama dengan desa Bapak. Di sini semua pangkat, jabatan dan kedudukan ditinggalkan untuk sementara.

Ibarat cangkir, Bapak diharap mengosongkan dulu isinya agar isi yang lain bisa diberikan untuk Bapak”, jelas saya perlahan-lahan.

“Saya mengerti maksud Ibu, tapi tangan saya capek menulis seperti itu. Sudah biasa menyuruh orang lain. Saya biasanya tinggal menandatangani saya,” Grrr.. seisi kelas menertawakannya. Itulah akibat membawa-bawa jabatan sampai ke kampus. Bukannya disegani malah ditertawakan.

“Baik, sekali ini saya terima tapi untuk berikutnya maaf Bapak harus mengerjakannya sendiri ya.”, tegas saya.

 “Iya Bu, saya paham”, jawabnya sambil tersenyum menunduk. Tak terlihat lagi tangganya terlipat di dada seperti sebelumnya.

Kalau mengingat-ingat pengalaman mengajar itu saya jadi merasa lucu sendiri. Saat saya menonton televisi yang tayangannya ada Pak Kadesnya saya tersenyum. Ingatan saya kembali ke masa-masa awal mengajar. Meski harus jauh-jauh datang dari Medan ke sana, tapi hal-hal kecil bersama mahasiswa menjadi hiburan tersendiri bagi saya.

Mereka, para kades itu sangat ramah kalau ada dosen yang kebetulan berkunjung ke desanya. Dosen dijamu dengan berbagai macam hidangan. Bahkan diadakan bakar-bakar ikan mendadak bila tamu yang datang itu adalah sang dosen.

Hal ini saya ketahui saat mendampingi mahasiswa melaksanakan pengabdian kepada masyarakat (semacam KKN, Kuliah Kerja Nyata). Selain memanggang ikan, sering juga menyuguhkan air kelapa muda yang seketika diturunkan dari pohonnya.

Di daerah sana dekat dengan pesisir, banyak didapati tumbuh pohon kelapa, di samping masyarakat juga usaha berkebun pohon kelapa. Awalnya saja mereka membawa-bawa pangkat dan jabatannya di dalam kelas, lama kelamaan seiring berjalannya waktu di kelas sudah tidak pernah lagi saya temui peristiwa semacam itu.

Mahasiswa yang mempunyai latar belakang pekerjaan sebagai perangkat desa biasanya cukup interaktif di kelas. Apalagi mata kuliah yang saya ampu adalah Sosiologi Hukum. Banyak mengeksplorasi hubungan antara hukum dan interaksi sosial di masyarakat.

Saya mempertajam daya serap mahasiswa dengan menginstruksikan kepada mereka untuk membuat makalah yang di dalamnya berisi contoh-contoh langsung di masyarakat. Sebagai  pamong desa mereka cukup sarat pengalaman di lapangan. Saat sessi presentasi di depan kelas, mereka dengan piawai menjelaskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan rekan-rekannya yang menjadi audiens.

Saya cukup memberikan teori-teori terkait dan mereka menghubungkannya dengan berbagai gejala sosial yang sering dihadapi di lapangan. Tak pelak lagi, pada saat penilaian Ujian Akhir Semester (UAS) jika jawaban sudah tepat semua maka saya berikan nilai yang maksimal.

Terkadang saya mendengar anggapan-anggapan para mahasiswa kelas khusus itu. Mereka yang berlatar belakang perangkat desa, anggota kepolisian setempat, pegawai honorer, PNS golongan II, aktivis LSM, wartawan dan wiraswasta itu kuliah hanya demi selembar ijazah sarjana. Pegawai honorer yang sudah bertahun-tahun bekerja di instansinya kuliah agar kelak bisa diangkat menjadi PNS. Yang sudah PNS, kuliah demi kepentingan meningkatkan kepangkatannya.

Kuliah hanya demi tujuan-tujuan pragmatis. Saya mengonfirmasi hal tersebut di kelas. Ternyata tidak semuanya demikian. Ada yang memang benar-benar ingin menuntut ilmu sambil bekerja. Dulunya saat belum bekerja tidak memiliki biaya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi sehingga mencari pekerjaan terlebih dahulu.

Ada juga yang menikah dulu baru dikuliahkan oleh suami. Banyak cerita yang saya peroleh selama interaksi dengan mereka. 

Pengalaman bersosialisasi dengan mahasiswa di kampus merupakan pengalaman berharga bagi saya. Terutama pengalaman mengajar pertama kalinya, tentu tidak akan terlupakan. Banyak hikmah berserakan yang bisa saya kumpulkan untuk kemudian menjadi cermin perbaikan kepribadian saya sebagai dosen kedepannya.

Sungguh, menjalani profesi dosen penuh romantika, suka dan duka. Perlu sikap yang bijaksana, dewasa dan siap dengan berbagai karakter yang dijumpai di kampus.

Jangan mudah patah semangat, senantiasa memupuk optimisme dan jadilah pembelajar sejati selamanya, karena menjadi dosen harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, pembaharuan teknologi, informasi dan komunikasi.

Dimuat di buku antologi Komunitas Dosen Menulis "Pengalaman Mengajar Tak Terlupakan", 2017.







Posting Komentar untuk "Pengalaman Mengajar Tak Terlupakan"