Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukit Lawang, Objek Wisata Yang Terlupakan

Sumber gambar: wisatabatukatak.blogspot.com, comunityhepank.com, dokumentasi pribadi



Rencananya 2 Syawal lalu kami berlibur lebaran bersama keluarga besar suami di Porsea, Tobasa. Berhubung ada urusan keluarga dari pihak ibu saya yang wajib diselesaikan, maka kami tidak turut serta bersama-sama.

Sebenarnya anak-anak tak pernah memaksa harus pergi berlibur keluar kota. Kumpul bareng, makan bersama, ngobrol asyik, kruntelan satu kamar rasanya sudah lebih dari cukup. Apalagi kakeknya anak-anak, ayah saya baru saja berpulang 1 Juni lalu. Mau kemana-mana feel happy-nya belum dapat.

Sabtu kemarin terlintas begitu saja ide suami mengajak saya dan anak-anak ke objek wisata yang bisa dibilang tidak dekat dari kota Medan. Bukit Lawang. Tujuan wisata yang amat sangat populer di zaman saya bersekolah dahulu. Baik berdarmawisata, piknik sekolah ataupun rekreasi keluarga, pasti tak luput mengikutkan Bukit Lawang sebagai salah satu opsi destinasi.

Menurut informasi yang saya telusuri, dibandingkan Danau Toba dan Brastagi, justru Bukit Lawang menjadi juara tujuan wisata turis mancanegara waktu itu. Mengapa? Karena Bukit Lawang adalah salah satu tempat terakhir di dunia ini untuk menyaksikan langsung kehidupan orang utan di habitat aslinya di alam liar.

Tempat lain sejenis hutan konservasi Bukit Lawang dapat dijumpai di Tanjung Puting, Kalteng, atau Sepilok Orang Utan Rehabilitation Center di Sabah, Malaysia. Tak heran banyak peneliti dunia, aktivis LSM, ahli biologi dan ekologi yang beraktivitas di desa yang menjadi pintu masuk ke Taman Nasional Gunung Leuser ini. Sesuai arti namanya secara harfiah, Lawang berarti pintu. Bukit Lawang merupakan pintu masuk ke arah bukit atau pegunungan.

Kawasan wisata Bukit Lawang termasuk lengkap. Ada sungai yang airnya mengalir jernih. Dikelilingi oleh pemandangan alam hutan yang asri dengan udara sejuk yang kaya oksigen. Ada air terjun kecil di area Pulau Rambung, Bahorok. Keluar dari wisata air sungai, di sebelah kiri jalan. Masuk lagi beberapa kilometer ke dalam. Karena kami membawa bayi usia setahun, sepertinya mencukupkan diri saja setengah hari bermain-main air di sungai kecil.

Kira-kira lima kilometer setelah keluar dari kawasan Bukit Lawang, 7 km dari pekan Bahorok, ada objek wisata Batu Katak. Pemandangannya indah, alamnya sangat memanjakan mata. InsyaAllah lain waktu saat si baby ini sudah agak besar, kami ingin ke sana. Menelusuri karunia Allah SWT yang pernah diliput program acara Panorama, ANTV. Sayangnya infrastruktur di sana tidak sebaik di tempat-tempat wisata lainnya. Jalannya terjal, sepi, seolah-olah tidak ada taman rekreasi alam yang indah di ujung sana.

Sama juga seperti jalan ke Bukit Lawang. Sebagian masih dipenuhi lubang dan genangan air. Perjalanan malam dengan mobil 2,5-3 jam dari kota Medan menjadi kelelahan tersendiri terutama bagi anak-anak. Alhamdulillah setelah sampai di penginapan, rasa capek terbayar dengan istirahat sampai pagi harinya. Esoknya baru kami menikmati kesegaran dan keindahan alam Bukit Lawang.

Limabelas tahun yang lalu sebelum terjadi banjir bandang tentunya pemandangan di Bukit Lawang lebih mempesona dari yang sekarang. Air bah setinggi duapuluh meter menghantam dan meluluhlantakkan daerah ekowisata itu. Penduduk sekitar yang rata-rata menggantungkan hidupnya dari industri pariwisata, turut menderita. Korban jiwa berjatuhan, kerugian material tak terhitung lagi.

Meski disebut bencana namun masyarakat meyakini datangnya banjir bandang disebabkan ulah manusia. Pembalakan liar, pembukaan hutan menjadi ladang dan permukiman, pendirian penginapan dan hotel-hotel di DAS Sungai Bahorok, bahkan sebagian nekat membangun di atas sungai.

Cukuplah kesedihan dan kehancuran yang ditinggalkan bencana air bah menjadi pelajaran untuk menyayangi lingkungan. Kini masyarakat menyadari dengan sepenuh hati pentingnya menjaga kelestarian alam. Ini diwujudkan dengan adanya hukuman berat yang diberikan warga jika ada yang tertangkap tangan menebang pohon di hutan. Gerakan menanam pohon di tepi sungai menjadi program bersama. Hal ini dilakukan agar kejadian mengenaskan tahun 2003 tidak terulang kembali.

Kurang lebih setahun setelah kejadian kawasan wisata Bukit Lawang perlahan-lahan dibenahi kembali. Meski demikian tak cukup membuat wisatawan domestik maupun mancanegara berduyun-duyun datang lagi ke Bukit Lawang. Agaknya semua masih trauma dengan tragedi air bah tahun 2003.

Kami pun baru kali ini menyempatkan diri berkunjung lagi ke Bukit Lawang setelah belasan tahun. Meski tak menjadi idola destinasi wisata lagi. Senang rasanya mengenalkan ke anak-anak kawasan wisata yang pernah ngehits di zaman kami kecil dahulu. Bukit Lawang tak akan terlupakan. Masih banyak kawasan wisata di sana yang belum sempat kami nikmati. InsyaAllah kami akan datang lagi.

Salam literasi
Medan, 25 Juni 2018








Posting Komentar untuk "Bukit Lawang, Objek Wisata Yang Terlupakan"