Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Saya, Inner Child Dan Self Healing

NHW Inner Child Pra BunSay Batch #4
Sumber: WAG Kelas OL Bunda Sayang Institut Ibu Profesional (IIP) Aceh-Sumut 2018




Terkadang karena merasa harus sempurna di dua ranah, rumah tangga dan kampus, saya menerapkan disiplin yang terlalu keras untuk diri sendiri dan anak-anak. Padahal saya menyadari sikap perfeksionis dalam kedua urusan ini ujung-ujungnya sangat melelahkan, menguras tenaga dan perasaan.

Sepulang dari kampus rumah yang tadinya saya sapu sebelum pergi, saat anak-anak usia SD pulang, berubah menjadi tanpa bentuk. Si abang yang melempar sepatu ke dalam rak ternyata kelewatan namun tidak diambilnya lagi. Dibiarkan tergeletak begitu saja. Si kakak kecil yang menyandarkan tas sekolahnya di ruang tamu. Alasannya capek, tak sanggup lagi memasukkan ke loker yang tersedia.

Adegan selanjutnya pastilah saya memberitahu mereka sambil tangan saya memunguti sepatu dan tas mereka. Namun nasehat itu tidak berhenti sampai di situ. Terus berkepanjangan sampai si abang mengeluhkannya. "Umi pun, merepet aja". Refleks saya terdiam. Inginnya menumbuhkan kebiasaan bertanggung jawab terhadap barang-barangnya sendiri. Kenyataannya wejangan yang saya sampaikan mental. Anak kurang bahagia menerimanya. Nasehat saya tidak menjadi nyanyian lembut yang dirindukannya. Malah menjadi semacam radio rusak yang mestinya dimatikan sedari tadi.

Saya bersedih dan curhat pada suami. Curhat pada Allah SWT dalam sujud-sujud panjang saya. Kalau suami berpendapat, biarkan saja anak-anak berkata jujur seperti itu. Umi jangan bosan terus menerus menasehati mereka. Mungkin kata-kata itu belum dapat dicerna dengan efektif di benak mereka saat ini. Tapi insyaAllah akan menjadi panduan tingkah laku mereka di suatu saat nanti di masa depan.

Saya tertegun. Saya pun seperti mengalaminya kembali. Inner child, untuk harus bisa menjadi juara kelas, shalat tepat waktu dan harus rajin cuci piring. Ketika almarhumah ibu saya merepet jika pekerjaan rumah tangga yang menjadi kewajiban saya seperti mencuci piring dan menyapu rumah tidak saya laksanakan sebagaimanamestinya.

Waktu itu perasaan saya berontak. Pulang sekolah dengan kondisi cuaca yang panas, pulangnya malah disuruh bantu-bantu. Saya iri dengan teman-teman yang di rumahnya ada asisten rumah tangga. Ia bisa langsung tidur-tiduran sepulang sekolah. Sementara saya mesti meringankan tugas-tugas ibu sebab tidak ada ART dan ibu saya memiliki lima anak dengan selisih usia yang rapat.

Saya kembali terbawa ke masa kini. Saya pun mengalami hal yang sama. Bedanya anak saya empat. Saya juga sebagai ibu bekerja. Ibu dulu working mom juga tetapi hanya mengajar pada siang hari, sehingga pekerjaan domestik dapat diselesaikan dari pagi sampai pukul 12.00 WIB. Kalau saya berkegiatan di kampus bisa-bisa seharian. Jadwal tidak hanya mengajar. Tapi ada penelitian dan pengabdian masyarakat juga. Belum lagi rapat demi rapat, mengawas ujian, seminar proposal skripsi, sidang skripsi dan lain-lain. Jadi saya merasa wajar jika menginginkan anak-anak saya ikut menjadi bagian dari solusi dalam hal menjaga kebersihan rumah, misalnya.

Adapun Self Healing yang saya lakukan. Berusaha berbicara dengan diri sendiri. Berkontemplasi atas apa yang sudah, sedang dan akan terjadi. Memuhasabah diri dan membayangkan seandainya saya berada di posisi anak-anak saya sekarang ini.

Saya tidak ingin anak-anak mengalami masa kecil yang tidak indah. Demi memuluskan ambisi saya agar rumah selalu bersih, rak sepatu harus rapi, anak-anak wajib meraih rangking satu, tanpa sadar saya membentuk mereka menjadi robot. Mereka tetaplah anak-anak yang ingin disayangi tanpa syarat. Saya membayangkan seandainya satu pun dari mereka tidak lahir dari rahim saya. Betapa tidak beruntungnya saya. Lama merenungi tentang segala nikmat yang telah Allah karuniakan.

Perlahan-lahan sikap semua harus OK, segalanya mesti berjalan on the track, dari saya, bisa dikurangi. Saya tidak lagi mematok harus perfect di segenap lini. Hari-hari saya menjalani semua jadwal dengan sebaik-baiknya. Tidak berlebihan namun juga tidak terlalu jauh dari standar pada umumnya. Suami mensupport sepenuhnya. Bahwa saya, dia dan anak-anak mestinya bisa senantiasa berbahagia dengan kebersamaan kami ini. Terlebih ia telah kembali ke tengah-tengah kami setelah empat tahun menjalani Long Distance Marriage karena beda kota. Alhamdulillah, ini karunia yang amat sangat kami syukuri.

Rasanya kebahagiaan bisa bersama-sama mengalahkan hal remeh-temeh terkait teknis mengurus rumah tangga. Saya bersyukur lama-kelamaan anak saya pun mau meletakkan barang pada tempatnya. Saya sedang belajar untuk tidak terlalu banyak mengumbar kata perintah. Tapi memperbanyak kata ajakan, sembari menyentuh fisik anak, memeluk dan menyayanginya sepenuh hati. Saya akan menciptakan masa kecil yang indah untuk anak-anak saya. Saya ingin memberikan pengasuhan yang terbaik dari saya untuk mereka. InsyaAllah mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang berbahagia. Kelak mereka pun akan berlaku hal yang sama pada cucu saya.

Posting Komentar untuk "Saya, Inner Child Dan Self Healing"