Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Balas Budi Dengan Berbagi Rezeki

Balas budi dengan berbagi rezeki, ya itulah judul yang saya pilih untuk artikel terbaru hari ini. Sedianya saya menulis dua artikel blog pada hari ini. Ini yang pertama. Sampai detik ini saya masih mengingat dengan jelas, pesan ibunda yang sudah jelang 9 tahun wafat. Beliau berpulang ke rahmatullah pada 5 Juli 2013, tepat seminggu sebelum datangnya bulan Ramadan 1434 Hijriyah lampau.

Pesan Ibunda

Pesan ibunda, selalu menghargai orang lain siapapun dia, senantiasa berbuat baik tanpa pamrih, sebab yang membalasnya kelak adalah Allah SWT. Bukan orang yang dibantu tersebut, bisa jadi balasannya dari orang yang lain pula. Dan yang menerima buah dari kebaikan kita tersebut juga mungkin bukan kita. Bisa jadi anak keturunan di masa yang akan datang.

Nasihat berharga ini saya ingat terus dan kini saya teruskan ke anak-anak, cucu-cucunya ibu. Sehingga pesan-pesan kebaikan ini menjadi amal jariyah buat beliau. Meski masih kecil dan belum sepenuhnya mengerti, paling tidak anak-anak mengerti bahwa berbuat baik tak harus mendapatkan balasan baik pula dari orang yang dibantu. Yang penting berbuat baik saja secara tulus dan ikhlas. Perkara ganjarannya serahkan saja pada Allah SWT.

balas budi

Balas Budi dengan Berbagi Rezeki

Saya ingat dulu saat masih kecil dengan adik ada 4 orang, ayah dan ibu bekerja. Yang menunggui kami di rumah itu bergantian. Om dan tante saya dari pihak ibu. Sebab ayah anak bungsu, abang dan kakaknya sudah disibukkan dengan rumah tangga masing-masing. Sementara dari kerabat ibu bahkan masih ada yang single, sehingga bisa dimintain bantuannya menjaga kami selagi ayah dan ibu pergi ke tempat kerjanya masing-masing.

Ada om yang suka ngajarin ngaji sehabis salat maghrib, meskipun orang tua sudah tiba di rumah, si om yang qori' ini tetap tinggal di rumah jika sedang libur kuliah. Ada tante yang membantu membersihkan rumah, kadang memandikan adik yang belum betul-betul bisa mandiri. Ada juga tante yang pas datang main ke rumah memasakkan sayur mayur dan lauk mentah yang sudah disiapkan ibu di kulkas. 

Ah, rasanya masa-masa dahulu itu rumah kami ramai terus. Om dan tante silih berganti menjenguk kami. Bahkan ada tante yang dibantu ibu biaya kursus menjahitnya karena kebetulan tante yang satu ini tidak melanjutkan kuliah ke jenjang pendidikan tinggi.

Akhirnya satu per satu tante-tante itu menikah dan ada yang tinggal jauh dari kota kami. Hanya bisa bertukar kabar saat hari raya idulfitri. Zaman dulu belum masif grup-grup obrolan seperti masa sekarang. Chat-chat pelepas rindu bertanya kabar. Masih telepon rumah dari perusahaan Telkom. 

Ada sekelebat perasaan iri melihat banyaknya "dayang-dayang" yang selalu siap sedia membantu ibu mengasuh kami. Berbeda sekali dengan yang saya alami ketika jadi ibu bekerja dengan empat anak dan yang bungsu balita. 

Semua serba bayar jasa asisten. Alhamdulillah waktu anak pertama dan kedua masih ada adik-adik sepupu dari kampung ibu yang bisa membantu. Namun bertahan hanya enam bulan, paling lama setahun. Anak gadis zaman now lebih suka menjadi penjaga counter ponsel ketimbang menyuapi balita makan. 

Fokusnya juga tak lepas dari HP melulu. Entah memang zamannya atau pekerjaan jadi ART kalah menarik dengan jadi SPG atau pabrik. Yang jelas, saya tak mendapatkan lagi kemudahan meninggalkan rumah untuk bekerja sebagaimana ibu saya tempo dulu.

Keberadaan orang-orang yang rela menghabiskan waktunya menjaga anak-anak sangat penting. Sampai-sampai ada tidaknya mereka menentukan efektivitas pekerjaan. Misalnya jika mereka sudah janji datang di pagi hari (untuk ART yang pulang hari), maka kedatangannya amat sangat dinantikan.

Pernah suatu kali yang menjaga anak saya seorang nenek namun masih tampak kuat bekerja. Tidak terlalu sepuh, kira-kira begitu. Nah, saya yang ada agenda di pagi harinya, sudah tinggal berangkat akhirnya batal pergi lantaran si nenek absen alias tidak datang ke rumah saya. 

Untungnya saat itu pimpinan bisa mengerti dan memperkenankan ketidakhadiran saya. Namun rasanya ketergantungan terhadap ART ketika anak masih balita, tinggi sekali. Sekarang anak-anak sudah besar, tinggal si bungsu yang masih berusia hampir 5 tahun. Bersyukur sekali kakak dan abangnya bisa menjaga secara bergantian. 

Kendati demikian saya tetap mengingat jasa-jasa orang yang membantu ibu dahulu dan orang yang membantu menjaga anak-anak saya. Tanpa mereka mungkin saya akan ditegur atas berulang kali karena dianggap melalaikan tanggung jawab di kampus.

Tanpa mereka ibu saya tidak bisa mengedukasi ibu-ibu pengajian dengan ceramah agamanya. Ayah saya juga pasti tidak akan tenang bekerja di kantornya jika tahu anak-anaknya tidak diurus dengan baik.

Kesimpulan

Balas budi dengan berbagi rezeki saya lakukan teruntuk orang-orang yang pernah singgah di hati keluarga kami. Om tante yang merelakan waktu dan tenaganya membantu ayah dan ibu menjaga kami saat masih kecil. Dan juga kepada orang-orang yang pernah membantu saya menunggui anak-anak ketika saya pergi bekerja. 

Saat bertemu tak lupa saya santuni semampunya. Sekadar uang pegangan dan sebagai pengingat bahwa mereka pernah berjasa untuk keluarga kami. Meski balasan tidaklah semata-mata diberikan dalam bentuk uang, namun yang riil bermanfaat untuk mereka adalah berbagi rezeki dengan tulus dan ikhlas.

Demikian cerita saya hari ini, semoga ada manfaatnya ya, terima kasih. Kalau kamu, adakah kisah tentang membalas budi baik orang yang pernah memberikan kebaikan buatmu? Sharing di kolom komentar ya.

Salam, 
fadlimia berbagi rezeki



Posting Komentar untuk "Balas Budi Dengan Berbagi Rezeki"