Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kumpulan Kisah Menulisku: Roadmap 1, 2 dan 3

Kisah Menulisku

Artikel ini saya buat untuk mendokumentasikan kisah menulis yang terbagi-bagi ke dalam roadmap-roadmap. Maka saya beri judul Kumpulan Kisah Menulisku: Roadmap 1, 2, dan 3.

Roadmap 1: suka membaca dari kecil

Roadmap secara harfiah berarti peta penentu atau penunjuk arah. Peta jalan sangat diperlukan saat kita mengerjakan sesuatu. Menempuh perjalanan, melakukan penelitian, bahkan menjalani setiap episode kehidupan. Agar arah yang dituju itu benar dan meminimalisasi tersesat di jalan.

Demikian juga menulis. Ada baiknya kalau memiliki roadmap menulis. Perjalanan menulis saya belum bisa dikatakan banyak. Bahkan untuk menyebutkan diri sebagai penulis juga saya belum berani. Ibarat pesawat sepertinya baru akan lepas landas meninggalkan landasan pacu.

Mengurangi kebiasaan buruk yaitu mengesampingkan kegiatan membaca dan menulis. Sekian lama terlena dan berapologi atas nama kesibukan dan rutinitas. Menulis hanya untuk melengkapi Beban Kinerja Dosen semesteran atau menjajal proposal hibah penelitian dan pengabdian masyarakat.

Rasanya kurang banyak cinta di sana. Dr. Ngainun Naim dalam bukunya Proses Kreatif Penulisan Akademik menuliskan, passion atau keinginan besar dalam menulis jika ditelisik lebih jauh akan termanifestasi dalam semangat besar mengerjakan sesuatu.

Semangat besar ini disadari atau tidak, melahirkan rasa cinta. Rasa cinta menulis, menjadi energi besar untuk beraktivitas. Sehingga di setiap aktivitas menulis yang dilandasi passion akan berjalan penuh kegairahan. Sayang saya belum menemukannya saat menulis yang membutuhkan konsentrasi otak kiri. Menjembataninya, biasakan free writing dahulu.

Sejak SD saya paling suka tugas mengarang di pelajaran Bahasa Indonesia. Langganan nilai sembilan, kata guru saya. Mungkin karena baru satu hari buku-buku paket dibagikan guru di awal catur wulan, besoknya telah habis saya baca. Saya suka sekali membaca. Terutama cerita wacana yang ada pertanyaan tentang isi ceritanya.


Lanjut di SMP hobi saya tetap suka mengarang sesuai instruksi guru pelajaran Bahasa Indonesia. PR saya selalu selesai tepat waktu. Masa SMP saya mulai mengenal buku diari. Tadinya diari hanya untuk tempat tukar-tukaran biodata dan foto ala anak SMP.

kisah menulisku
Livingroom Analytic

Roadmap 2: suka menulis sejak sekolah


Roadmap 2 saat saya masih bersekolah. Tak banyak yang saya ingat tentang perkembangan menulis di tingkat sekolah menengah. Meski diari penuh terisi nama teman-teman berikut foto culun baru gedenya, data yang ditulis tak lebih dari hobi, makes (makanan kesukaan), mikes, wakes (warna kesukaan), artis Mandarin yang difavoritkan, dan lain-lain. Waktu itu saya suka Aaron Kwok dan Jimmy Lin.

Beranjak SMA, saya mulai punya dua buku diari. Yang satu untuk mengoleksi data-data teman ala anak SMP, satunya tentang aktivitas dan perasaan saya keseharian. Tak ada kompetisi kepenulisan yang diikuti. Satu-satunya lomba yang pernah saya ikuti adalah English Reading Competition antar siswa SMA se-Kota Medan. Itu juga tidak dalam rangka mewakili sekolah. Saya ikuti secara pribadi berdasarkan berita di radio. Lombanya 'on air' di Radio Kardopa Medan.

Lulus di Fakultas Hukum UGM,  saya konsisten mengisi diari. Menuliskan hal-hal yang saya anggap penting setiap malam sebelum tidur. UGM dengan atmosfer intelektual yang baik seharusnya dapat mendukung minat kepenulisan saya dengan cukup baik pula. Sayangnya belum ada PKM waktu itu. Seandainya ada pasti saya mengikutinya. Aneka publikasi LKTN terpampang di mading fakultas. Tetapi kadang terlewati begitu saja. Dosen tidak terlalu ikut campur tangan untuk urusan kegiatan mahasiswa.

Mahasiswa dikondisikan untuk mandiri,  proaktif dan menggali potensinya untuk mengikuti berbagai kompetisi berdasarkan inisiatifnya sendiri. Tidak pernah saya dapati dosen menyerukan dan mengondisikan mahasiswa mengikuti ragam lomba. Mungkin karena rata-rata yang berkuliah di Gadjah Mada adalah orang-orang yang mempunyai motivasi tinggi, pilihan dari seluruh negeri. Jadi dosen tidak perlu bersusah payah mengajak mahasiswa ikut lomba ini dan itu.

Selain kuliah, saya mengikuti berbagai organisasi kemahasiswaan. Baik yang ada di dalam kampus maupun di luar kampus. Nah, di elemen gerakan kemahasiswaan eksternal kampus itu saya pernah mengikuti Training Komprehensif Jurnalisme Profetik (TKJP). Katanya, trainernya eks wartawan Majalah Tempo. Di ponpes mahasiswa tempat saya tinggal, pernah juga diadakan Training Jurnalistik tetapi hanya seharian.

TKJP diadakan rutin setiap hari Ahad pagi. Gratis bagi anggota aktif organisasi. Untuk menjaga komitmen kepesertaan, trainer menerapkan sistem gugur. Jika tugas menulis gagal disetorkan, maka nama kita akan dicoret dari daftar peserta. Dari sekian banyak teman mahasiswa yang ikut, sampai ujungnya hanya tersisa selingkaran duduk orang. Alasan sedang banyak tugas kuliah sudah pasti tak diterima dan harus pasrah dieliminasi.

Take it or leave it. Instruksi trainer bisa berupa mewawancarai narasumber, membuat feature, liputan mendalam dan menyusun artikel. Pena trainer amat sangat tajam mencorat coret hasil tulisan kami. Salah dan wajib diulangi kembali, tak lupa dengan deadline-nya. Saat skripsi saya jadi tidak kaget lagi. Sudah terbiasa di TKJP.

Luaran dari TKJP adalah sebuah majalah mahasiswa. Ada rasa haru akhirnya kami yang tinggal bersedikit itu bisa menerbitkan bacaan. Waktu itu bergantian dengan rekan yang lainnya, saya pernah menjadi redpel, pemred dan pemimpin umum.

Hikmahnya, sedikit banyak kami memahami seluk beluk menciptakan media berikut kerja-kerja di belakang layar sebuah media cetak. Pengalaman menerapkan teknik mewawancarai tokoh penting. Saya sendiri pernah mewawancara Bapak Bambang Soedibjo sebagai narasumber dari unsur dosen UGM.

Ketika akhirnya beliau jadi Mendiknas, ada secercah rasa bangga pernah bercakap-cakap dengan beliau. Saya tersenyum sendiri saat menuliskan nama beliau di kolom "Kepada Yth" dalam surat lamaran yang ditulis tangan guna melengkapi persyaratan mengikuti tes seleksi CPNS Dosen Kopertis, bertahun sesudah interview itu.

Roadmap 3: menerbitkan buku (2  buku ajar dan 27 buku antologi)


Roadmap 3 berisikan tentang perjalanan menulis saya setelah menjadi dosen. Diterima sebagai dosen dpk membuat saya tetap bersentuhan dengan aktivitas membaca. Melengkapi bahan ajar, saya betah berlama-lama di perpustakaan salah satu PTN di sini. Sambil membaca-baca, saya menuliskannya di buku catatan. Andai waktu itu saya sudah mengetikkannya di laptop mungkin sampai saat ini buku ajar saya sudah terbentuk.

Masih sungkan rasanya untuk mengatakan sudah terbit. Karena menulis buku ajar bukanlah sekali jadi. Ada proses yang berkesinambungan menyertainya. Ada komitmen dan disiplin yang tinggi mengerjakannya. Dengan alasan mulai memiliki anak-anak satu demi satu, aktivitas menulis saya mandeg. Praktis, saya hanya menulis karya ilmiah demi mengejar kenaikan jabatan fungsional.

Melanjutkan kuliah ke jenjang S2, kegiatan menulis mau tak mau harus digiatkan kembali. Penugasan makalah oleh para profesor membuat saya memaksakan diri duduk mengetik di depan laptop. Makalah selesai tetapi hanya untuk kepentingan akademis. Jujur, saya tak menulisnya dengan hati.

Di kampus penempatan dpk pertama, sejawat yang menanggungjawabi terbitnya jurnal, meminta naskah artikel pada saya. Waktu itu saya sedang sibuk memenuhi deadline tugas-tugas di magister. Mengapa tidak, pikir saya. Buat paper untuk menggugurkan kewajiban kuliah, sekaligus mengisi jurnal kampus. Lumayan, ada beberapa kali naskah saya ikut diterbitkan di jurnal internal itu. Cukup berkontribusi membantu saya lebih cepat naik pangkat. Saya juga menulis artikel yang dimuat di majalah internal Kopertis.

Lulus S2 dan kembali ke kampus, saya diamanahi memimpin penerbitan jurnal fakultas. Di periode saya, ada tiga edisi jurnal yang kami terbitkan. Serupa tapi tak sama, pengalaman menerbitkan majalah mahasiswa dengan jurnal kampus yang berisi naskah artikel sejawat dari internal dan eksternal kampus.

Pengetahuan dan pengalaman di dapur redaksi semasa menjadi mahasiswa tetap tersimpan di brain memory. Menurut Hernowo dalam pengantarnya untuk buku Proses Kreatif Penulisan Akademik karya Dr. Ngainum Naim, Daniel Coyle mengemukakan penelitian para ahli memori tentang myene, brain memory dan muscle memory.

Salah satu penjelasannya, pengetahuan menulis yang tidak dipraktikkan, tak akan membantu terciptanya deep practice (latihan secara mendalam). Bisa dikatakan bahwa dengan konsisten melakukan free writing akan merangsang pembentukan muscle memory. Pada akhirnya tentu saja akan melejitkan kemampuan menulis.

Berikutnya roadmap menulis saya, beberapa tahun yang lalu tepatnya dari tahun 2012 sampai dengan 2014 saya aktif menulis berbagai persoalan hukum yang aktual dan membahasnya melalui perspektif hukum dengan gaya bahasa saya sendiri. Rasanya ada kepuasan batin tulisan berhasil dimuat meski hanya di harian lokal. Ternyata aktivitas demikian cukup membantu menjaga konsistensi menulis. Belum ada buku yang dihasilkan waktu itu, fokus menulis saya pada artikel ilmiah populer, artikel untuk jurnal dan karya tulis ilmiah untuk kenaikan jabatan fungsional.

Pindah home base ke kampus dpk yang baru, dengan sistem dan manajemen yang lebih mapan, saya dituntut untuk cepat beradaptasi. Tahun lalu dalam rangka milad fakultas, saya dan sejawat yang lain diberi kesempatan mengirimkan naskah tulisan untuk diterbitkan menjadi buku karya bersama. Sejenis buku antologi atau book chapter bertema hukum.

Kini, penerbitan jurnal tak lagi semata dicetak secara fisik seperti dahulu, tetapi sudah berversi daring. Persyaratan kenaikan pangkat pun ditingkatkan standarnya. Tulisan dosen tidak lagi hanya dimuat sebatas jurnal nasional terakreditasi, tetapi sudah merambah ke jurnal internasional bereputasi, jurnal terindeks Scopus. Era perkembangan iptek yang demikian pesat menuntut internasionalisasi karya ilmiah.

Kedepannya, tupoksi dosen tampaknya semakin berat. Jika tak ingin tergilas zaman, maka saya harus segera keluar dari zona nyaman. Insya Allah mulai akhir tahun 2017 ini sampai tahun-tahun sesudahnya saya berkomitmen menjaga konsistensi menulis untuk menghasilkan buku ajar dan buku solo sebagai wujud dari kecintaan saya pada dunia literasi, terlebih pada dunia hukum.

Jalan menuju terbukanya kesadaran ini bermula pada pertemuan dan interaksi biasa dengan para sejawat di grup Ikatan Dosen Republik Indonesia secara daring melalui media sosial Facebook. Setelah lama saling menukar info terkait pendidikan tinggi, Dr. Amie Primarni, salah satu anggota grup, mengajak sejawat yang berminat, fokus di dunia tulis menulis. Beliau kemudian membentuk grup FB dan fanpage Dosen Menulis. Saya segera menggabungkan diri. Beberapa kali memosting tulisan rasanya mulai merasa termotivasi. Apalagi melihat sejawat yang sangat produktif mengunggah tulisannya setiap hari.

Insya Allah akan hadir buku antologi pendidikan karya bersama kami. Lewat pelatihan online menulis buku ajar yang diselenggarakan Dr. Amie Primarni dan Dr. Ngainun Naim sebagai narasumbernya, mata saya seolah terbuka kembali. Luaran dari pelatihan berupa tulisan-tulisan kami para peserta akan dibukukan juga. Akhirnya file folder calon buku ajar di laptop, yang sudah lama tidak saya buka-buka, nanti akan lebih sering diurusi.

kumpulan kisah menulis saya

Sebelumnya di tahun 2011 silam saya pernah mengikuti pelatihan menulis buku ajar di kampus. Namun keluar dari ruangan saat acara satu hari itu selesai, entah mengapa semangat dan motivasi yang diinjeksikan pembicara seakan menguap entah kemana. Saya menyadari tidak adanya komitmen pada waktu itu. Sehingga belum mampu menghadirkan cinta untuk menjaga konsistensi menulis.

Pepatah Inggris mengatakan, "better late than never". Mungkin itu yang tepat menggambarkan kondisi saya beberapa waktu lalu. Perasaan tertinggal dari sejawat yang lain, tak punya waktu, masih repot momong bayi, belum bertitel doktor, ternyata hanya sederet alasan yang dicari-cari untuk berlindung di balik minimnya komitmen.

Saya mengingatkan diri sendiri untuk memelihara passion dan optimisme. Jika menyimpang dari roadmap yang telah disusun, atau jalan di tempat tanpa ada kemajuan, semoga saya bisa kembali ke roadmap yang benar. Di tahun 2020 lalu saya telah menerbitkan 2 buku ajar, dan 27 buku antologi.

Kesimpulan

Yang saya tuangkan dalam artikel kisah menulisku ini mungkin belum apa-apa jika dibandingkan para maestro kepenulisan. Hanya seujung kukunya para penulis kenamaan. Namun yang pasti saya tidak akan berhenti menulis, sebab menulis bagi saya mendatangkan kebahagiaan. Happy writing!

Salam, 
my writing journey






21 komentar untuk "Kumpulan Kisah Menulisku: Roadmap 1, 2 dan 3"

  1. Anak remaja zaman now, apa masih ada isi-isi buku diary biodata itu mba Mia?
    Saya dulu, dari mulai SD, SMP pasti selalu kebagian disuruh isi diari orang.
    Saya sendiri males punya.
    kalo buku diary, catatan keseharian dan curhatan isi hati, saya pernah punya.
    Tapi ketika adik perempuan saya membacakannya keras-keras tatkala keluarga besar lagi ngumpul yang membuat saya malu setengah mati, dan sempat diem-dieman sama adik saya ini, saya berhenti menulis hal-hal seperti itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, jadi tengsin deh yaa dipermalukan adik seperti tu... sy pernah sih pas SMP temen2 main ke rumah trus adik saya ceritain ttg kejadian konyol gitu, maluuu pake banget :D

      Hapus
  2. Ternyata sama, ya. Saya juga waktu SMP bikin buku diari terpisah khusus untuk curhat dan biodata teman-teman.
    Senang saja menulis itu. Tanpa disadarii ketika dewasa langkah kecil itu membuat kita terlatih untuk setahap demi setahap mengerjakan hal besar.
    Saya salut dengan Kak Mia karena sebagai dosen tidak meninggalkan dunia literasi dan literatur. Jelas itu adalah pencapaian yang luar biasa dalam pandangan saya yang cuma bisa menulis hal ringan. Jauh dari akademis.
    Teruslah berkarya dengan tulisan, siapa tahu segala langkah itu tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri semata. Aamiin.

    BalasHapus
  3. Memang setiap dari kita akan merencanakan sesuatu sejak kecil hingga saat sekarang. Bisanya saya selalu menuuliskan hal-hal yang kecil untuk jadi penginggat hingga harus direalisasikan

    BalasHapus
  4. Banyak kebiasaan masa kecil kita yang sama kak Mia.
    Awak pun dulu punya diari pribadi.
    Bahkan sejak SD suka nulis perasaan awak dan suka pelajaran bahasa Indonesia karena ada mengarangnya.
    Hihi.
    Sejak SMA awak punya jurnal sampe kerja. Jadi menulis itu semacam sudah suka sejak kecil.

    BalasHapus
  5. Kok sama ya saya pun dulu punya diari yang isinya makes dan mikes pnya teman wkwkw kalau inget sekarang apalah gunanya hihihi ..btw selamat ya mbak Mia untuk karir dosennya sukses terus..

    BalasHapus
  6. Semangat terus kak Miaaaa. Saya juga baru nemu feelnya pas lulus kuliah, meskipun sejak SD udah suka nulis. Nulis apa aja. Nulis pelajaran aja seneng 😂😂

    BalasHapus
  7. waaa mbaaak Mia keren bangetttt, aku suka membaca pas kuliah.. pun nggak semua genre aku suka, wkwkwk
    terus nih aku suka nulis juga pas kuliah gara2 patah hati. pengen deh niru jejak mbak Mia ini, Roadmap 3 keren bangeeett bukunya banyaaaak uww

    BalasHapus
  8. Wah kalo udh bisa bikin roadmap gini dibilang belum apa-apa, apa kabarnya dengan saya? wkwk. Tp inspiratif mbak, jadi tergerak untuk bikin roadmap juga

    BalasHapus
  9. Masyallah dosen yang produktif mbak Nia ini. Semangat patut dijiplak buat jadi pecutan diriku kadang Suka malas nulis

    BalasHapus
  10. Masya Allah Mbak. Ternyata udah lama juga Mbak ini berkecimpung di dunia literasi. Duh, jadi malu sendiri aku yang masih mager buat nulis.

    BalasHapus
  11. Sama Mbak, saya pun berbekal suka dengan pelajaran mengarang saat sekolah dasar sehingga sekarang masih menyempatkan diri menulis di blog. Tapi saya terkendala biaya, jadi tidak melanjutkan sekolah, apalagi berprestasi seperti Mbak...

    BalasHapus
  12. Semua penulis punya satu kesamaan, yaitu suka membaca dari kecil. Pas sekolah, mulai jago bikin cerita-cerita pendek, mengarang indah, kirim naskah ke majalah, dan begitu gede bikin buku deh. Keren Uni Mia. Kuliah di FH, tapi bisa nulis buku dengan topik macam-macam.

    BalasHapus
  13. wah keren banget mba roadmapnya dan sekarang sudah menerbitkan buku dan antologinya sampai udah puluhan keren banget mba

    BalasHapus
  14. Subhanallah jalannya tuhan memang cantik sekali ya.. berkat usaha kerja keras dan doa, Mbak Nurhilmiyah mampu menjadi piawai di bidang tulis menulis.. tentunya tidak mudah melaksanakannya krena harus disertai denagn ketekunan dan kerja keras.. salut..

    BalasHapus
  15. Better late than never ini juga akhirnya yang menyemangatiku untuk nyemplung di dunia blogging ini lagi kak. Semangat-semangat-semangat

    BalasHapus
  16. Banyak pengalaman menulis tentunya membuat terbiasa menghasilkan karya ya. Pengalaman mewawancari narasumber pun tentunya memberi rasa bangga tersendiri apalagi ketika ngobrol bersama menkes itu.

    BalasHapus
  17. ya ampun kak miaaa, thumbs up bisa di 2020 banyak bgt gitu buku yg dihasilkan. kalau boleh sharing di blogsum kak gimana caranya bisa bikin buku antologi sebanyak itu, perasaan kemarin udah bikin tapi malah gak ada kabar huhu

    BalasHapus
  18. Benar Kak Mia, menulis mendatangkan kebahagiaan. Ada kepuasan tersendiri setiap berhasil menyelesaikan tulisan. Apalagi kalau dimuat koran, diterbitkan buku atau dikomentari di blog. Semoga tinta pena terus mengalir seiring kobaran api semangat berkarya.

    BalasHapus
  19. Wih banyak sekali yaa kak, Kalah diriku nih

    BalasHapus
  20. waaah mnatap.. semangat terusss :) sayapun suka menulis sejak SD, tp baru serius, akhir-akhir ini, meski udh dari kuliah ikut jurnalis, hehe

    BalasHapus

Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.