Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mondok Di Saat Pandemi

Kami memiliki buah hati yang mondok di saat pandemi, yaitu putri sulung dan putra kedua. Rasanya campur aduk saat melepas mereka kembali ke pesantrennya, pasca dipulangkan bertahap sebab merebaknya pandemi Covid-19 di akhir Maret tahun lalu.

Kembali ke pesantren

Kurang lebih tiga bulan di rumah, bulan Juli lalu anak-anak pun mendapat surat edaran dari pimpinan pondok pesantren Ar Raudlatul Hasanah, Medan, untuk kembali melanjutkan aktivitas belajarnya. Sebagai ibu, jujur hati kecil saya menolak. Rasanya tidak tenang berpisah dengan anak di masa pandemi Covid-19 yang entah kapan ada ujungnya ini.

Pillow talk dengan suami saya curahkan semua isi hati. Kegalauan dan kebimbangan saya mengenai akan kembalinya dua remaja kami ke pondoknya. Suami yang tahu betul gimana bapernya saya lalu mengemukakan berbagai alasan yang bisa menenangkan saya.

masuk kembali ke ponpes
Raudhah ac id


Alasan anak-anak sebaiknya mondok lagi

Berikut sekian alasan mengapa sebaiknya anak-anak mondok lagi di pesantrennya:

Alasan menurut perspektif orang tua

  • Pesantren menerapkan prokes yang ketat. Jika protokol kesehatan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, insyaallah rantai penularan Covid-19 akan terputus. Meskipun masih menjadi pertanyaan, apakah ada jaminan santri tidak berkerumun, saling meminjam barang-barang pribadi, dan sebagainya.
  • Meningkatkan intensitas belajar. Di rumah, anak-anak kami minta mengikuti program "Belajar dari Rumah" di kanal televisi milik pemerintah, TVRI. Selain itu bertepatan dengan bulan Ramadan 1441 H lalu, pesantren sendiri memiliki kegiatan daring yang harus disetorkan santri melalui gawai orang tuanya, kepada ustaz/ustazah wali kelas. Sayangnya, yang duluan tertanam di pikiran anak-anak, kalau sudah pulang ke rumah, sama dengan liburan. Maka untuk belajar di rumah membutuhkan usaha yang tidak mudah. Sehingga kembali saja ke pondok merupakan solusi agar mereka menambah pelajarannya.
  • Waktu menggunakan gadget menjadi lebih lama. Hal ini sebelumnya sudah kami musyawarahkan dalam family forum, mengingatkan kembali mengenai waktu-waktu boleh menggunakan ponsel pintar. Namun berhubung minimnya aktivitas di rumah, lebih nyaman rebahan di kamar, maka melihat-lihat akun media sosial teman atau shopping online, menjadikan waktu main HP bertambah lama. 

Alasan menurut perspektif anak

  • Bosan di rumah saja. Kelamaan di rumah ternyata bikin anak-anak bosan, senyaman apapun tempat tinggalnya. Biasanya saat sebelum pandemi, libur pesantren selalu kami isi dengan plesiran keluar kota. Selain mengenalkan destinasi wisata di tempat yang baru, juga belajar mengetahui kebiasaan dan keunikan masyarakat setempat. 
  • Bisa bertemu lagi dengan teman-teman santri. Nah, saat pandemi seperti ini, bepergian sangat tidak dianjurkan dalam protokol kesehatan, menurut anak-anak, terutama yang sulung, lebih senang bergabung bersama teman-teman daripada berada di rumah terus seharian.
  • Kangen dengan suasana pondok. Meski sarat aturan, suasana ponpes dari bangun tidur sampai tidur lagi pastinya sangat memengaruhi anak, telah menjadi dunianya sejak masuk pesantren. Maka ada rasa kangen ingin merasakan suasana khas dan kehidupan di pesantren.
Akhirnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, saling rida antara orang tua dan anak, bismillah, kami pun ikhlas melepaskan sepasang rajawali ini kembali terbang meninggalkan sarangnya.

santri ponpes
Ke Raudhah apa yang kau cari, santriwati tengah belajar di kelas (foto sebelum pandemi) / Raudhah ac id

Anak-anak yang mondok bagaikan burung rajawali

Perumpamaan ini digaungkan oleh UAS (Ustaz Abdul Shomad). Ia mengatakan:
Anak-anak yang mondok itu bagaikan rajawali. Biarkan ia terbang tinggi, satu saat di waktu petang, ia pasti akan pulang, karena ia tahu di mana letak sarang
Kala mereka pertama kali beranjak dari rumah, membulatkan tekad dan memberanikan diri keluar dari cangkangnya, di saat itulah mereka terbang tinggi serupa rajawali. 

Sebagai orang tua kami berusaha tidak memperlihatkan huru-haranya perasaan. Bimbang apakah nanti anak-anak akan selamat dari penularan Coronavirus. Bisakah kami berkumpul kembali bercengkerama bersama lagi. Namun cepat-cepat saya beristighfar. Anak itu hanyalah titipan Allah SWT. 

Selaku yang dititipi tak seharusnya merasa amat sangat memiliki mereka. Berusaha melatih diri untuk berpisah selamanya, karena pasti akan dihadapi. Jika tidak ditinggalkan maka tentu akan meninggalkan. Jadi perpisahan sementara ini masihlah semacam gladi bersih. Insyaallah saat perpulangan nanti akan berkumpul kembali.

Di bawah ini adalah dua status saya di media sosial, sebagai pengingat haru-birunya hati saya saat membiarkan genggaman tangan-tangan mereka perlahan lepas dari jemari saya. Kepulangan santri dan santriwati diberi jarak 3 hari. Guna menjaga tidak berkerumunnya para wali santri di pintu masuk pesantren.

Status di dinding Facebook saya saat mengantarkan si sulung kembali ke pesantren, Juli tahun lalu

Hari ini jadwalnya si anak sulung kembali ke pesantrennya. Setelah kurang lebih 3 bulan bersama-sama di rumah. Menekuni hobi menggambarnya, belajar skincare, hingga saya andalkan menjaga dan mengurusi adik bungsunya.

Sehat² di sana ya Sayang... meski pandemi belum berakhir, kita sudah banyak berbicara soal protokol kesehatan sejak dari rumah. Insyaallah Allah SWT melindungi mujtahid-mujtahidah dalam menimba ilmu pengetahuan.

Umi dan ayah insyaallah bisa mengelola rasa rindu ini. Yang penting kakak di sana bisa fokus menuntut ilmu. Ya Allah, lindungilah anak-anak kami para santri, asatiz/asatizah dan seluruh pengurus pesantren.
Aamiin yaa robbal 'aalamiin.

Status untuk si nomor dua

The Second Departure

"Baik-baik Abang di pesantren ya... Yang semangat belajarnya, ibadahnya, dan urusi keperluan diri sendiri dengan rapi ya" demikian pesan saya sambil memegang erat tangannya.

"Ya, Mi"  yup, cuma sependek itu kata-katanya, dan ia pun melepaskan genggaman jemari saya. Kami berpisah di pintu pemeriksaan check in santri. Setelah urusan surat sehat dan isolasi mandirinya beres, ia pun berjalan, lurus, tanpa menoleh kami lagi ke belakang.

Sedikitpun ia tidak berniat melongokkan badannya. Sembari koper dan tas-tasnya diangkut menggunakan mobil pick up, santri diminta berjalan ke bilik desinfektan, lalu ke tempat cuci tangan.

Di dalam kopernya pun sesuai maklumat masuk kembali ke pesantren, saya stok beberapa helai masker kain, vitamin C, dan hand sanitizer.

Saya lepas dengan basmalah, sambil menyertainya dengan doa terbaik sebagai ibundanya. "Ya Allah, Sang sebaik-baik penjaga, peliharalah anak-anak kami, terangilah hatinya dengan cahaya ilmu, lapangkanlah dadanya, kuatkan semangatnya. Izinkan kami berkumpul kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi, aamiin yaa robbal'aalamiin."

The second departure, setelah mengantarkan kakaknya Sabtu lalu, kini sesuai jadwal kami iringi pula si nomor dua kembali ke pesantrennya. Hati ibu mana yang tak was-was, tinggal di zona merah, pondok anaknya pun berlokasi di redzone juga, sama.

Namun yang menenangkan hati adalah disiplinnya penerapan protokol pihak pesantren dalam meminimalisasi celah penularan Covid-19. Malah lebih ketat dari protokol di rumah, yang kalau anak bolak-balik dimintai tolong ke warung tetangga, malas pakai masker.

Alasannya ribet dan melihat jiran juga tak ada yang pakai penutup mulut itu. Santai saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Maka dari itu, insyaallah mudah-mudahan lebih aman dan terkendali anak-anak berada di pesantren. Bebas game online dan fokus belajar.

Sampai bertemu kembali di perpulangan berikutnya ya.

mondok saat pandemi Covid-19
Ke Raudhah, apa yang kau cari? Para santri sedang mendengarkan arahan ustaz, foto sebelum pandemi / Raudhah ac id

Kesimpulan

Mondok di saat pandemi diperbolehkan Kementerian Agama jika pesantren yang bersangkutan bisa menjamin pelaksanaan prokes dengan ketat terhadap seluruh santri.

Yuk, kasih komentar mengenai artikel saya kali ini yaa, sampai jumpaa...

Salam, 
anak-anak fadli & mia


7 komentar untuk "Mondok Di Saat Pandemi"

  1. Mba Mia, mba Mia dulu yang nawarin anak anak ke pesantren atau anaknya yang minta?
    Kalau ditawarin ke pesantren anaknya langsung mau kah?
    Saya juga pengen anak saya mondok, tapi dia ndak mau.
    Jadi pilihan saya sekolah Madrasah yang full day, sekolah rasa mondok dikit.
    yang penting ilmu agamanya dapat
    gitu hiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekolah itu partnernya ortu kok Mbak Vi... jd kl anaknya gak mau jangan dipaksa ntar stres. Kalau kami dulu cm nawarin anak2 mau gak sekolah di pesantren, setelah jalan2 ke pesantren, menimbang enak gaknya, doa yg kenceng jg Alhamdulillah mereka mau

      Hapus
  2. Iya nih, enggak selamanya akan begini terus. Kangen juga rasanya sekolah bertatap muka. Semoga sehat-sehat selalu dan tetap semangat dalam menuntut ilmu..

    BalasHapus
  3. Sepertinya mondok bukan jalan ninjaku kak, karena awq bosenan, tp gatau ya kalau nasib membawa oza harus mondok pulak, siap gak siap lah kk

    BalasHapus
  4. Sebagai orangtua pasti rasa khawatir ada saja ya kan kak Mia. Tapi selama ini di Raudhah memang ketat keluar masuk santri, orang yang akan masuk juga. Mengingat di dalamnya ada ribuan santri, maka mereka pun menjalankan protokol kesehatan yang bener bener ketat.
    Alhamdulillah santri pun terjaga dari ikhtiar yang dilakukan. Semoga selalu sehat semua santri 🥰

    BalasHapus
  5. MasyaAllah kak Mia... Kebayang rada beratnya kk melepas dua anak ke pesantren dengan kondisi pandemi gini. InsyaAllah tahun depan anak sulung dv rencana masuk ke Raudhah juga dengan berbagai pertimbangan yang hampir sama ama yg kk tulis tadi. Mesti banyak nanya2 ke kak Mia ini. Semangat ya kakkkk!!

    BalasHapus
  6. Melepas kepergian memang gak pernah mudah ya Bun. Saya sampe nangis bacanya waktu nganterin anak-anak mondok😭

    BalasHapus

Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.