Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cara Survive Di Perantauan

Hai, Teman-teman semua... ketemu lagi di artikel terbaru saya, kali ini membahas tentang cara survive di perantauan. Survive adalah kata dari bahasa Inggris yang berarti bertahan. Jadi bisa disebut juga cara bertahan di perantauan. Tetapi lebih dapat feel-nya dengan istilah "survive." 

Pengalaman-Pengalaman Merantau 

Merantau berasal dari kata rantau yang berarti berlayar (mencari penghidupan) di sepanjang rantau (dari satu sungai ke sungai lain dan sebagainya). 

Nah, menurut saya definisinya masih jadul ya, karena menyesuaikan dengan keadaan di zaman dahulu di daerah-daerah yang para pemudanya pergi merantau, dan sebagian mengawali langkahnya dengan menggunakan transportasi sungai.

Ke mana saja sih saya sudah "merantau" berikut ulasannya:

Kuliah ke Yogyakarta

Saat sah menyandang predikat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, maka saya pun dengan diantar orang tua menuju ke kota pelajar, Yogyakarta atau biasa disebut orang, Jogja. Waktu itu ongkos pesawat masih mahal sekali, sekitar 2 jutaan/orangnya. Belum eranya low carrier airlines.

survive di perantauan
Kampusaja

Maka mempertimbangkan sisa ongkos pesawat bisa saya gunakan untuk ngekos, kami bertiga (ayah, ibu, dan saya), memilih naik bus ALS (Antar Lintas Sumatra) Medan-Jogja. Hanya menghabiskan 400 ribu/orangnya.

Mestinya di zaman sekarang, jika naik pesawat udara, waktu tempuh sekitar 2 jam 55 menit saja. Medan-Jakarta 2 jam, dan Jakarta-Jogja 55 menit.  Naik bus penuh perjuangan tersendiri. Uniknya saya baru sempat menuliskannya 20 tahun kemudian, yaitu hari ini.

  • waktu tempuh dengan bus jadi 4 hari 3 malam
  • beberapa kali berhenti untuk sopir bus beristirahat, penumpang mandi, salat, dan makan.
  • penumpang satu bus selama 4 hari 3 malam bersama-sama bisa jadi saling mengenal
  • sekali rute (Medan-Jogja) belasan kota dilalui seperti dari Medan ke Sidikalang, Parapat, Padang Sidempuan, Bukittinggi, Lubuk Linggau, Bakauheni, Merak, Jakarta, Cirebon, Purworejo, Magelang, dan akhirnya tiba di Yogyakarta.
  • Saat awal berangkat busnya bau pewangi ruangan, dibawa jalan, akhirnya bercampur jadi satu dengan bau-bauan yang dimiliki para penumpang. Terutama pagi hari saat semua baru bangun tidur (iyuhhh)
  • jadi tahu dialek khas daerah meski singgah sebentar
  • bisa membeli oleh-oleh khas daerah tempat berhenti
  • bersyukur ternyata Indonesia itu kaya raya, dari Sumatra ke Jawa saja sudah beranekaragam, apalagi dari Sabang sampai Pulau Rote.
  • jadi mikir kalau mau sering-sering mudik, faktor kelelahan fisik dan biayanya
  • waktu kuliah di Jogja mesti benar-benar dioptimalkan agar tidak molor dari jadwalnya.
Saya kalau mengingat-ingat masa naik Bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) ini rasanya campur aduk. Ada rasa  bangga melihat tanah air beta yang kaya sumber daya alamnya. Menyaksikan hamparan hutan Bukit Barisan di sumatra raya, membuat diri ini terasa kecil tiada artinya. 
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan). Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. (kata-kata mutiara dari Imam Syafi'i)

Ada pula rasa sedih meninggalkan keluarga, kota tempat saya dibesarkan, sekolah dari TK sampai SMA, dan organisasi saya di lingkungan tempat tinggal, remaja masjid). Namun orang tua menguatkan hati untuk tetap bertahan di kota yang baru. Toh, tidak akan lama, hanya 4 tahun, sebab janji saya pada ayah dan bunda, untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu.

Setelah lulus S1, saya pikir bisa memperbaharui janji tersebut dengan membujuk rayu ibu agar mengizinkan saya melanjutkan studi ke jenjang S2. Jawaban ini yang saya dapatkan:

"Nak, sadarlah kalau kau itu anak sulung, masih ada 4 lagi adikmu yang antre pingin kuliah juga. Ayahmu walaupun hakim tetap juga seorang PNS. Bagaimanapun biayanya mesti dibagi-bagi. Pulanglah kau, cari kerja saja di sini. Kota kita juga kota besar kok, berduyun-duyun orang merantau ke sini. Insyaallah Mamak doakan nanti kau lanjut S2 dengan dibiayai kantormu. Berkeluargalah dulu. Mamak kurang senang jika anak Mamak keasyikan sekolah sampai lupa usia menikah."

Ajaib! Kata-kata ibu saya ini seperti tertulis di suratan takdir dan akhirnya kejadian. Saat paginya kedua orang tua menghadiri wisuda saya di Graha Sabha Pramana, UGM, sorenya kami pun kembali ke Medan. Kali ini naik pesawat terbang, sebab ibu saya sudah sakit-sakitan, tak seperti 4 tahun yang lalunya.

Isak tangis mengiringi perpisahan saya dengan teman-teman yang berencana S2 di UGM juga, kami tak sempat menggelar acara apapun. Bahkan toga wisuda saya titipkan pada sahabat saya, Rosa Marlina. Bye-Bye Jogja, suatu saat saya akan kembali ke kota budaya ini.

Singkat cerita saya langsung diterima bekerja di suatu instansi sebagai pegawai honorer, lalu tahun depannya ada tes CPNS dosen dan Alhamdulillah saya keterima. Ibu saya senang sekali.

Tak lama saya menikah dan tahun berikutnya kami dikaruniai anak. Akhirnya benarlah kata ibu saya, saya lulus beasiswa pascasarjana di PTN di kota kami. Saya pun S2 dengan dibiayai penuh oleh pemerintah, dan berhasil lulus dengan predikat summa cumlaude, IPK 4,0.

Ikut suami penempatan tugas ke Pandan

Sekitar tahun 2006 sampai dengan 2008 saya dan anak-anak mengikuti suami penempatan tugas dari instansinya Kabupaten Tapanuli Tengah dengan ibukota Pandan, Sumatra Utara. Meski masih dalam satu provinsi jangan dikira Pandan ini dekat jaraknya, kurang lebih 400 kilometer dengan jarak tempuh mengendarai mobil sekitar 14 jam. 

Moda pesawat juga ada, hanya sekitar hampir 1 jam saja, dengan harga tiket mulai dari 500-600 ribuan. 

Pandan Tapanuli Tengah

Pandan adalah sebuah kota kecil di tepi laut yang bertetangga dengan kota Sibolga. Pandan ini kaya akan pantai-pantai indah, jadi kebetulan suami bertugas di kabupaten ini hampir setiap hari sepulang suami bekerja kami berjalan-jalan menyusuri pantai.

Waktu itu saya selaku dosen muda zaman dulu tidak terlalu banyak kegiatan sebagaimana dosen muda saat ini. Mengajar pun seminggu sekali sehingga banyak waktu yang dihabiskan untuk mendampingi suami dan anak. Pandan ini unik, aksen dialeknya mirip suku Minangkabau, tetapi ada campuran logat suku Mandailing dan suku Batak. Sayang, saya tidak sempat belajar bahasa setempat. 

Pindah ke kota Kisaran

Setelah menjalani tinggal di Pandan, akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke Kisaran. Bukan tanpa alasan, sebab saya di-SK-kan Mendikbud melalui L2Dikti I Medan (dulu namanya Kopertis Wilayah 1 Medan), bertugas sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Asahan (UNA). 

Suami yang kasihan melihat saya bolak-balik Pandan-Kisaran-Pandan kadang mampir dahulu di Medan, akhirnya mengambil jalan tengah agar kami semua tinggal di Kisaran. Suami mengajukan permohonan mutasi dan Alhamdulillah suami pun dipindahkan ke instansi yang di Kisaran. 

Senang sekali rasanya bisa satu atap lagi setelah selama proses menunggu SK, kami terpaksa LDM-an (long distance marriage). Kisaran ini berjarak hampir 200 kilometer dari kota Medan, dengan waktu tempuh sekitar 4 jam, jika melalui jalan tol kira-kira 3 jam.  Kisaran adalah ibukota dari Kabupaten Asahan. Cukup lama kami tinggal di kota kecil ini, sebab suami 10 tahun bekerja di sini. 

Kebetulan putri ketiga lahir di Kisaran, sehingga selalu saja ada alasan kami untuk mampir berjalan-jalan di kota ini. Ibarat kata pepatah, tempat jatuh saja dikenang apalagi tempat bermain. 

Begitulah, jika melewati kota lintasan di pinggiran jalan lintas Sumatra ini tak lupa kami menyengajakan diri makan di Pokel (Pondok Kelapa), atau menyicipi miso bacok, atau main ke Lapangan Parasamya, tempat anak-anak minta ditemani naik odong-odong. Sudah jelang 7 tahun sejak saya mutasi home base tidak lagi mengajar di Kisaran ini.

Ah, sungguh kehidupan yang tenteram, jauh dari hiruk pikuknya kota seperti yang kami tinggali saat ini. Kendati demikian kota yang sekarang ini adalah kota kami berasal, kota Medan tercinta yang sarat kenangan orang tua dan seluruh sanak saudara. 

kisaran city
Wikipedia

Cara survive di perantauan

Sebenarnya survive di sini tidak diartikan bertahan hidup dalam arti berjuang mencari makan, sebab di ketiga kota di atas, saya tidak mempersoalkan penghidupan, sudah ada uang bulanannya. Jadi sebatas cara beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang yang baru dijumpai.

1. Jaga adab dan tingkah laku

Poin ini sangat penting sehingga harus dinomorsatukan. Apapun profesi kita, jika tidak memiliki adab dan tingkah laku yang baik, akan memantik permasalahan dengan orang lain, terutama penduduk asli kota yang ditinggali.

Misalnya kami di rumah orang tua, biasa bersuara lantang, tertawa keras-keras, dan berbicara to the point, langsung pada intinya. Hal ini memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Saat di Jogja saya belajar unggah-ungguh, melihat bagaimana sesama teman berinteraksi, cara ngomong kepada yang lebih tua, dan membiasakan diri memelankan suara. 

2. Tidak berlaku boros

Meski memiliki penghasilan tetap, bukan berarti selama tinggal di perantauan bebas merdeka tidak perlu pengaturan uang. Misalnya ketika tinggal di Pandan yang kotanya dikelilingi pegunungan dan pantai, harga-harga barang sedikit mahal ketimbang di Medan. Bahkan membeli pisang pun dihitung per bijinya. 

Biasanya bebas saja beli pisang sesisir. Daging ayam juga demikian, biasa membeli seekor atau sekilo, di Pandan dihargai per potong bagian ayam. Jadi jika ditotal harganya bisa sangat mahal untuk 1 ekor ayam. Hmm, lain lubuk lain pula ikannya, pikir saya, mengingat kata peribahasa. 

Untuk mengakali agar semua barang bisa dibeli, kami pun beradaptasi dengan turut membelinya sebagaimana masyarakat setempat membelinya demikian. Tidak berlaku boros penting sekali untuk tetap menstabilkan kondisi keuangan sampai tiba masanya gajian lagi.

3. Bersosialisasi dengan baik pada tetangga sekitar

Tetangga itu lebih dekat dari saudara kandung. Demikianlah gambaran saking pentingnya membina hubungan silaturahmi dengan jiran sekitar. Selama kita berada di rantau orang, bukan tidak mungkin kita mengalami sakit atau hal-hal yang tidak diinginkan. Maka bersosialisasi dengan baik dengan tetangga sekitar rumah amat sangat dianjurkan.

Idealnya di setiap kota yang kita tinggali masuklah ke perkumpulan warganya. Aktif menghadiri undangan, karena pepatah tak kenal maka tak sayang masih berlaku di masyarakat kita. Akan beda rasanya jika menyapa orang yang pernah satu majelis atau acara dengan kita dengan yang hanya sekadar menyapa saat lewat. 

Sudah barang tentu jika kita meluangkan waktu untuk hadir di pengajian setempat, menjadi momen memperkenalkan diri dan kita pun dikenal sebagai orang yang mau bermasyarakat, tidak eksklusif apalagi sampai dicap sombong.

Kesimpulan

Cara survive di perantauan ada 3, jaga adab dan tingkah laku, tidak berlaku boros, dan bersosialisasi dengan baik pada tetangga sekitar. Insyaallah ke manapun kita merantau, hidup tetap bahagia dan mendapatkan saudara-saudara baru. 

Yuk, bagikan kisah merantau kamu di kolom komentar ya, terima kasih.

Salam,
merantau




15 komentar untuk "Cara Survive Di Perantauan"

  1. Ku sudah merantau sendiri sejak tamat smp. Ngekost ...
    Sma ke bukittinggi sumbar.
    Kuliah d3 dan s1 di bandung.
    Kerja di banda aceh pasca tsunami.
    Sekarang sedang melanglang buana bersama keluarga kecilku, sdg berfikir akan menetap dimana..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wow, SMA nya udah jauh dari ortu ya Kak Vi...

      Hapus
  2. Seru deh baca cerita orang-orang yang mengalami jadi anak rantau. Maklum aku nggak pernah merasakan itu. Sepanjang hidup tinggal di Jawa, kuliah juga cuma pindah kota yang jaraknya nggak jauh, cuma 1-2 jam perjalanan. Makanya dulu kusuka nginap di kos-kosan temenku, biar merasakan jadi anak rantau hihi..

    BalasHapus
  3. Saya terharu cerita mbak yang ikhlas untuk kembali ke rumah ibu, dan menuruti perkatannya.
    Ternyata omongan ibu itu doa ya mbak.
    Eh kota kota diatas saya baru pernah dengar semua, makasih mbak pengetahuan nama kota koya diatas.
    Selamat mengemban tugas menjadi pendidik di luar jawa mbak

    BalasHapus
  4. Ya ampun mbak Mia, manis sekali perjalanan hidupnya. Ya meskipun pasti ada pahitnya, tp aku salut berasa ikutan kecipratan energi positifnya.. Sepakat bgt sih, kl merantau mesti jaga adab dan tingkah laku, tidak berlaku boros, dan bersosialisasi dengan baik pada tetangga sekitar. Bismillah, otw merantau aku nih mbak. Wqwq

    BalasHapus
  5. Wah , mbak Mia udah banyak pengalaman merantaunya ya termasuk bersama suami dan anak-anak. Kalau sudah pernah merantau biasanya tidak kaget ketika berada di kota orang lain untuk tugas tertentu ya mbak

    BalasHapus
  6. Hebat banget kak.. Selalu salut sama orang² yg merantau dan sukses di perantauan. Dulu sy mau kuliah di Bandung aja dilarang, krn anak bontot. Akhirnya kuliah di Depok deh yg deket dgn Bogor.. hehe

    BalasHapus
  7. Pengalaman sungguh luar biasa Kak. Wah tahun berapa itu Kak naik bus AKAP Medan-Jogja? Naik busnya 4 hari 3 malam. Luar biasa.

    Kalau aku mungkin sudah mati gaya nggak tau mau ngapain lagi selama di dalam bus karena duduk doang sama lihat pemandangan.

    Sepakat sama 3 poin tentang merantau. Benang merahnya serupa pesan "pandai-pandailah membawa diri" ya Kak.

    Terima kasih atas tulisannya yang menyenangkan sekali sepanjang dibaca.

    BalasHapus
  8. OOO.. kakak pernah juga tinggal di sibolga juga ya..
    Awak suka udara Sibolga lah kak. Kota yang dikelilingi pantai.
    Btw hidup di perantauan memang harus menjalin hubungan dekat dengan tetangga. Secara mereka akan jadi keluarga kita yang duluan tau apa yang terjadi sama kita. Kalo butuh bantuan pun yang tercepat adalah tetangga.

    BalasHapus
  9. Pengalaman merantau itu memang menjadi pembelajaran yang sangat berharga. Tinggal kita menyikapinya

    BalasHapus
  10. Waah mba miaa udah sampai Sumut ternyata. Buatku yg nggapernah merantau kemana2 jadi nasihat berharga bangett inii. Hehehe. Thankyou mba Mia

    BalasHapus
  11. Salam kenal mba. Sesama perantau nih. Aku baru akan merantau di kota kedua. So far aku senang sekali merantau 🙂🙂🙂.

    BalasHapus
  12. waaah sama nih, aku juga hidup merantau, hihiii.. seru yaa, jadi tahu rasanya beneran pulang kampung kalau pas hari-hari besar gitu :)

    BalasHapus
  13. Wah keren mbak, punya pengalaman merantau kesana-sini. Saya mah belum pernah merantau mbak, ahahha jadi blm tahu gimana rasanya jauh dari rumah. Thank mbak ulasannnya menarik bgt.

    BalasHapus
  14. Tips yang bermanfaat banget Mbak buat yang penasaran bagaimana sih caranya bertahan hidup di perantauan. Soalnya kan aku dari kecil sampai sekarang ya di sini aja, di Samarinda, nggak pernah ke mana-mana. Paling ya pas SMA aja sih aku di Jawa. Tapi kan beda ya sama yang di perantauan dan nyari usahanya di perantauan. Kalau pas SMA kan ada pasokan duit dari orang tua.

    BalasHapus

Pesan dimoderasi, terima kasih telah meninggalkan komentar yang santun. Sebab bisa jadi Anda dinilai dari komentar yang Anda ketikkan.